Kamis, 16 April 2015

Thr Great Revenge chap 6B

Disclaimer: Sesungguhnya, hanya Tuhan Yang Maha Esa yang memiliki napas dan jalan kehidupan semua karakter yang ada dalam cerita Puan ini. Puan hanya meminjam nama mereka saja.

Rate: M

Genre: Puan agak kurang paham dengan masalah ini. Bisa jadi genre-nya romance, drama, tragedy and family.

Warning: Boys love, yaoi, m-preg, beberapa butir typo yang kemungkinan terlewat ketika proses peng-edit-an, jalan cerita yang cukup lambat, beberapa adegan penyiksaan, karakter para tokoh yang tidak sesuai kepribadian aslinya pastinya dan banyak lagi yang lainnya.

Cast:

- Kim Jaejoong as Kim Jaejoong/Selir Hwan (15 tahun)

- Jung Yunho as Raja Yi Yunho/Raja Sukjong (30 tahun)

- Kim Junsu as Kepala Pengawal Kim (28 tahun)

- Go Ahra as Permaisuri Yi Ahra (30 tahun)

- Shim Changmin as Putera Mahkota Yi Changmin (15 tahun)

- Park Yoochun akan muncul di chapter yang kesekian, jadi umur dan perannya juga belum Puan tentukan, hehehe.

Chaptet 6B

Kamar yang ditempati Jaejoong terletak tepat di sebelah kamar Selir Suk yang terletak di bangunan bagian utara. Sebagaimana halnya bangunan lain di komplek istana bawah tanah ini yang semuanya berbahan utama kayu dan batu, maka kamar tidur Jaejoong juga terbuat dari bahan serupa, dengan dua pilar besar menyangga beranda di bagian depan. Selir Suk yang rupanya menyadari perubahan sikap dari remaja cantik itu tidak langsung meninggalkan kamar Jaejoong, tapi malah turut menemani selir terkasih raja itu. Jaejoong yang tadi mengatakan bahwa dirinya sangat lelah dan mengantuk juga tidak langsung memejamkan matanya, tapi malah memilih duduk bersandar di tepi jendela, di dekat sebuah meja kecil yang menyangga sebatang lilin merah yang menyala. Selir Suk yang merasa aneh dengan perubahan sikap Jaejoong yang tidak seceria biasanya, ikut mendudukkan dirinya di sebelah namja cantik yang sudah dianggapnya sebagai anak itu.

"Eomma perhatikan, sejak tadi Joongie mendadak berubah jadi pendiam. Apakah ada sesuatu yang mengusik benak Joongie?" tanya Selir Suk membuka percakapan ketika dilihatnya Jaejoong hanya duduk diam tanpa bicara sepatah kata pun.

"Joongie tidak apa-apa, Eomma. Hanya lelah," jawab remaja cantik itu tanpa sedikit pun mengangkat kepalanya yang sejak tadi menunduk sambil memeluk lutut. Ia bahkan menyembunyikan wajahnya dalam lekukan lututnya. Selir Suk tersenyum maklum.

"Joongie cemburu pada Yang Mulia Permaisuri?" tebak Selir Suk langsung, dengan nada keibuan. Jaejoong yang sejak tadi menunduk dengan cepat mengangkat wajahnya. Pandangannya lurus, tepat menatap kedua bola mata wanita cantik yang juga sudah dianggapnya seperti ibu sendiri itu.

"Joongie tidak cemburu! Joongie hanya…," sangkal remaja cantik itu cepat. Tapi ia sendiri akhirnya tak mampu meneruskan ucapannya, karena sejujurnya ia sendiri tidak tahu perasaan apa yang sedang menderanya. Hatinya seketika terasa begitu sakit ketika mengingat kembali kemesraan sang suami dan permaisuri tadi.

"Hanya apa?" desak Selir Suk yang sebenarnya sudah mengetahui isi hati remaja cantik itu.

"Joongie hanya tidak suka melihat Yang Mulia bersikap seperti itu pada Yang Mulia Permaisuri. Tapi Joongie sendiri tidak tahu kenapa Joongie bisa tidak suka," jawab Jaejoong lirih. Selir Suk merengkuh pundak remaja cantik itu, lalu memeluknya dengan erat. Persis seorang ibu yang sedang berusaha meyakinkan anaknya yang tengah gundah bahwa ia tidak sendiri.

"Joongie mungkin belum menyadarinya, tapi dalam pandangan mata Eomma, terlihat jelas kalau Joongie sedang cemburu. Joongie pasti merasakan seolah-olah ada yang meremas jantung Joongie ketika melihat Yang Mulia bersikap manis pada perempuan iblis itu, bukan?" tanya Selir Suk dengan sabar. Kepala Jaejoong yang berada dalam dekapan wanita cantik itu terlihat mengangguk.

"Ce-cemburu? Tapi Joongie tidak merasakan hal ini jika melihat Yang Mulia bermesraan dengan Eomma atau selir-selir yang lain," tutur sang namja cantik itu dengan wajah terlihat cemberut. Selir Suk terkekeh ringan. Tebakannya benar. Putera cantiknya itu sedang cemburu. "Joongie pikir Yang Mulia sengaja melakukan itu hal itu di depan Joongie sebagai bentuk hukuman karena kemarin Joongie melanggar perintah Yang Mulia. Ugh, menyebalkan sekali, padahal Joongie berharap Yang Mulia lupa mengenai hal itu," gerutu remaja cantik itu. Sebelas alis Selir Suk terangkat.

"Hukuman?" tanya Selir Suk yang sedikit kebingungan dengan ucapan Jaejoong.

"Ne," Jaejoong menganggukkan kepalanya. "Yang Mulia memerintahkan Joongie untuk tidak meninggalkan tenda utama saat pertempuran berlangsung, tapi Joongie melanggarnya. Joongie malah bilang Yang Mulia boleh menghukum Joongie apa saja nanti kalau perangnya sudah berakhir. Saat itu Yang Mulia mengatakan bahwa Joongie sendirilah yang meminta hukuman. Wajah Yang Mulia saat mengatakan hal itu terlihat menyeramkan sekali. Eomma, eotteokhae? Kenapa juga bisa-bisanya Joongie bicara seperti itu?" tanya Jaejoong sambil menepuk-nepuk bibir merahnya yang menurutnya telah lancang itu dengan pelan.

"Ha ha ha. Kau tahu, Sayang? Wajahmu yang kebingungan sekaligus cemas ini terlihat sangat menggemaskan," ujar Selir Suk yang sama sekali tak membantu remaja cantik itu. Jaejoong menggembungkan kedua pipinya dan memiringkan tubuhnya.

"Eomma juga sama menyebalkannya seperti Yang Mulia!" seru selir terkasih raja itu dengan sangat kekanakan. Membuat Selir Suk harus mati-matian menahan tawanya yang nyaris saja meledak.

"Dengarkan Eomma, Sayang. Jika Yang Mulia memang benar berniat untuk menghukum Joongie atas kesalahan yang telah Joongie lakukan, maka Yang Mulia akan mengatakan sendiri bentuk hukuman yang harus Joongie jalankan. Dan kemesraan yang telah ditunjukkan oleh Yang Mulia kepada perempuan licik itu sama sekali bukan merupakan sebuah hukuman. Beliau bersikap sebagaimana layaknya seorang suami yang baru pulang dari medan perang," jelas Selir Suk dengan nada lembut.

"Benarkah? Tapi sejak masuk ke ruangan itu Yang Mulia mendiamkan Joongie. Menganggap Joongie seperti tidak ada. Joongie tidak suka," jawab Jaejoong yang rupanya telah terbiasa menjadi pusat perhatian sang raja itu sambil memajukan bibirnya.

"Meski terlihat seperti itu, namun apakah Joongie tidak menyadari kalau tatapan Yang Mulia tidak pernah lepas dari Joongie, hemmm? Ah, tentu saja Joongie tidak menyadarinya karena saat itu Joongie memilih menyembunyikan wajah Joongie dalam pelukan Eomma, bukan?" Selir Suk menjawab sendiri pertanyaannya. Andai kau tahu bahwa maksud Yang Mulia yang sengaja memamerkan kemesraannya dengan perempuan iblis berkedok malaikat itu adalah untuk mengetahui sejauh mana perasaanmu terhadapnya, Joongie, batin Selir Suk sambil tersenyum kecil.

"Apa itu benar, Eomma? Yang Mulia tidak pernah melepaskan pandangannya dari Joongie?" tanya Jaejoong yang senang sekali mendengar ucapan wanita yang sudah dianggapnya seperti ibu kandungnya itu. Selir Suk mengangguk. Jaejoong tersenyum malu sambil menggigit pelan kuku jari telunjuk kanannya.

"Apa Joongie juga tidak sadar kalau perubahan sikap Joongie yang mendadak jadi pendiam itu membuat Putera Mahkota juga tampak resah?" mata besar Jaejoong kembali membulat mendengar pertanyaan sang Eomma.

"Putera Mahkota? Ada apa dengannya?" tanya Jaejoong dengan raut wajah bingung.

"Seharusnya Putera Mahkota yang bertanya seperti itu pada Joongie. Bukankah Joongie sudah menganggap Putera Mahkota sebagai teman dekat? Begitu juga sebaliknya. Tentu saja sebagai teman dekat Joongie Putera Mahkota merasa heran karena tadi Joongie sama sekali tidak menyapanya. Jangankan menyapa, melirik pun tidak," Selir Suk menjelaskan maksud ucapannya dengan penuh kesabaran.

"Joongie akan meminta maaf nanti pada Putera Mahkota. Joongie sama sekali tidak bermaksud mendiamkannya. Mungkin nanti Joongie juga bisa meminta ijin untuk menggunakan Dapur Istana. Joongie ingin membuatkan makanan kesukaan Putera Mahkota sebagai permintaan maaf Joongie," ujar Jaejoong. Selir Suk terkekeh ringan sambil menggelengkan kepala.

"Dasar nakal! Joongie memanfaatkan kelemahan Putera Mahkota terhadap makanan sebagai cara untuk meminta maaf, hemmm?"

"He he he…,"

"Ah, Eomma rasa, Eomma tahu apa yang harus Joongie lakukan untuk mendapatkan kembali perhatian penuh dari Yang Mulia dan membuat perempuan iblis itu gigit jari," ujar Selir Suk sambil menghentikan gerakan tangannya yang sejak tadi membelai rambut hitam Jaejoong yang lurus sepinggang.

"Apa itu, Eomma?"

Selir Suk mendekatkan bibirnya ke telinga remaja cantik itu, membisikkan sesuatu. Setelah wanita cantik itu selesai mengemukakan rencananya, Jaejoong yang masih berada dalam dekapannya segera menegakkan tubuh dan melepaskan diri dari dekapan Selir Suk. Kedua bola matanya yang besar indah terlihat semakin membesar demi mendengar kata demi kata yang dibisikkan sang ibu.

"Tapi bagaimana cara melakukannya? Joongie tidak pernah melakukan hal itu, apalagi di depan orang banyak," bibir merah itu terlihat mengerucut.

"Tenang saja, Eomma yang akan mengajari Joongie. Yang paling penting Joongie harus memiliki keinginan yang kuat untuk mempelajarinya. Bagaimana?" tanya Selir Suk. Jaejoong menganggukkan kepalanya beberapa kali.

"Joongie mau! Joongie mau!" serunya kekanakan. Senyuman manis yang beberapa waktu lalu sempat menghilang, kini kembali menghiasi wajah cantiknya. "Jadi kapan kita mulai belajar, Eomma? Joongie sudah tidak sabar ingin melakukannya," lanjut remaja cantik itu dengan antusias. Mata besarnya berpijar ceria, membuat Selir Suk kembali terkekeh ringan.

"Sabar dulu, Sayang. Eomma harus mengambil sesuatu di kamar Eomma terlebih dahulu. Joongie tidak sabaran, eoh? Sepertinya baru beberapa saat yang lalu Eomma mendengar rengekan Joongie yang mengatakan bahwa Joongie sangat lelah dan mengantuk. Sekarang sudah tidak lelah dan mengantuk lagi?" goda Selir Suk, membuat semburat merah tercetak jelas di kedua belah pipi remaja cantik itu.

"Eommaaa…!"

"Ha ha ha…. Joongie tunggu sebentar, ne? Eomma akan segera kembali," tukas Selir Suk setelah puas menggoda namja cantik itu. Wanita cantik yang berusia sebaya dengan ibu kandung Jaejoong itu segera bangkit dari duduknya, dan melangkah menuju pintu. Sebentar saja bayangannya sudah menghilang dari pandangan, meninggalkan Jaejoong yang kini sudah menelentangkan tubuhnya di atas kasur lipat yang sengaja ia seret ke tengah ruangan, sambil menunggu kedatangan Selir Suk yang sedang mengambil sesuatu – entah apa – dari kamarnya.

ooo 000 ooo

Istana Changdeok, keesokan harinya.

Suasana di Aula Injeong yang merupakan aula utama Istana Changdeok terlihat begitu meriah ketika bayang matahari perlahan menghilang di balik bukit di bagian belakang, menyisakan bias kemerahan menyerupai barisan panah cahaya yang mengintip dari balik jejeran batang-batang pinus. Ribuan lampion yang dipasang di sekeliling bangunan yang dikelilingi oleh tembok batu itu membuat pemandangan terlihat semakin indah. Empat pilar besar yang dilapisi kain sutera merah berdiri kokoh di empat penjuru halaman, menyangga sebuah tenda putih dengan ujung berbentuk kerucut yang sengaja dibangun di bagian depan bangunan aula yang memiliki atap tumpang dua yang biasanya digunakan para pejabat pemerintahan untuk berbaris. Karpet merah panjang digelar di sisi kiri dan kanan tenda, menyisakan ruang kosong sekitar satu batang tombak di bagian tengah yang searah dengan pintu gerbang masuk. Di bagian depan ruang kosong itu dibentangkan pula sebuah karpet berwarna putih berbentuk segi empat. Beberapa baris meja panjang berkaki rendah yang dipenuhi aneka makanan, buah-buahan, juga minuman terlihat di atas karpet merah itu, yang kini telah sepenuhnya diisi oleh para pejabat pemerintahan baik pejabat sipil maupun pejabat militer yang diundang untuk menghadiri perjamuan dalam rangka merayakan kemenangan pihak Kerajaan Joseon menghadapi serangan dari Kerajaan Ming.

Yang Mulia Raja Sukjong yang terlihat sangat tampan dan berwibawa dalam balutan gonryongpo merah berlambangkan naga lima jari didampingi oleh Yang Mulia Permaisuri yang mengenakan dangui dan seuran chima dengan warna senada, duduk berdampingan di landasan batu pertama di muka aula yang diberi alas berupa karpet merah. Putera Mahkota yang juga mengenakan gonryongpo berwarna merah berlambang naga empat jari, duduk di sebelah kanan sang ayah, dengan posisi agak maju ke depan. Yang Mulia Ibu Suri yang sisa-sisa kecantikan dimasa mudanya masih terlihat hingga saat ini, duduk di samping Putera Mahkota dengan mengenakan dangui dan seuran chima berwarna ungu. Sebuah tusuk konde besar berupa naga dengan mulut terbuka dengan mutiara merah di tengahnya menghiasi rambutnya. Ibu kandung dari sang raja yang tengah berkuasa itu terlihat sedang terlibat dalam percakapan ringan dengan cucu tunggalnya yang mewarisi ketampanan sang ayah. Sementara di sisi kiri sang Raja Sukjong, duduk Perdana Menteri Go yang kali ini datang sebagai mertua raja, bukan sebagai salah seorang pejabat pemerintah. Ia tampak gagah dalam balutan jubah sutera merahnya. Di sebelah Perdana Menteri Go, terlihat Kaisar Chen yang merupakan tamu kehormatan Kerajaan Joseon yang tampak tak kalah gagah dalam balutan jubah sutera biru dengan sulaman benang emas di kedua ujung lengannya. Beberapa meja persegi berkaki rendah yang dipenuhi aneka makanan dan minuman terlihat di depan mereka.

Selir-selir Yang Mulia Raja yang semuanya terlihat cantik dalam balutan dangui dan seuran chima biru langit, kecuali Jaejoong yang tak terlihat batang hidungnya, duduk berjajar di bagian belakang sang raja. Di belakang mereka beberapa dayang istana yang mengenakan dangui berwarna hijau giok yang lebih terang terlihat berdiri sambil memegang kipas merah besar berbentuk bulatan berlambang naga emas yang disangga oleh sebuah pegangan menyerupai tongkat. Dua orang kasim mengenakan jubah berwarna hijau gelap berdiri sejajar di sebelah kanan dan kiri sang raja, sementara beberapa orang berseragam prajurit penjaga yang berwarna merah bata berdiri di pembatas landasan yang dibangun menyerupai pagar batu setinggi betis yang dihiasi ukiran burung hong. Di landasan batu kedua yang lebih rendah dari landasan pertama, digelar sebuah karpet merah dengan tiga baris karpet putih berukuran lebih kecil di bagian tengahnya, sementara di sebelah kanan dan kirinya juga dibentangkan sebuah karpet merah. Beberapa pemain musik istana dalam balutan jubah hitam tampak duduk di atas karpet merah di bagian kiri landasan kedua dengan alat musik di tangan masing-masing, memainkan musik pengiring lagu istana yang sedang dinyanyikan oleh beberapa pemusik wanita yang juga duduk di tempat yang sama.

"Anda terlihat gelisah sekali, Yang Mulia. Ada apa?" tegur Yang Mulia Permaisuri dengan nada berbisik ketika ekor matanya menangkap tingkah sang suami yang terlihat tidak seperti biasanya. Sebagai seorang istri yang sudah belasan tahun mendampingi suaminya, ia bisa dengan mudah mengetahui bahwa ada yang berbeda dari sikap suaminya itu. Sang raja berwajah tampan itu terlihat sedikit tidak tenang dalam duduknya, meski ia sudah berusaha keras untuk menyembunyikan keresahannya itu dan bersikap seolah-olah menikmati perjamuan yang diadakan.

"Aku tidak melihat Jaejoong sejak tadi. Kemana dia sebenarnya? Tidakkah ia tahu bahwa sesungguhnya perjamuan ini kupersiapkan untuknya?" sang raja balik bertanya dengan nada pelan. Yang Mulia Permaisuri menundukkan kepalanya seketika, menyembunyikan perubahan pada raut wajahnya. Ia lalu sedikit berdehem untuk menetralisir perasaannya. Bagaimana tidak? Pertanyaan sang suami seolah hunjaman sebilah belati tajam yang tepat mengenai jantungnya. Setelah mampu menguasai perasaannya, wanita cantik namun licik itu mengangkat kepalanya, lalu tersenyum lembut pada sang suami.

"Yang Mulia tidak usah khawatir. Mungkin Selir Hwan sedang dalam perjalanan menuju kemari. Sebaiknya Anda menikmati jamuannya, sebentar lagi pertunjukan tari akan dimulai. Anda tentu tidak bermaksud mengecewakan semua pejabat yang telah hadir, bukan?" tanya Yang Mulia Permaisuri yang langsung mengalihkan pandangannya ke halaman aula, dimana para pemusik wanita sudah selesai menyanyikan beberapa lagu istana. Para pemain alat musik seketika menghentikan permainan mereka, sambil bersiap untuk persembahan selanjutnya. Sang Raja Sukjong masih mengedarkan pandangannya berkeliling, mencari keberadaan selir terkasihnya. Setelah tak menemukan tanda-tanda kehadiran remaja cantik itu dimana pun, Yang Mulia Raja mengikuti saran Yang Mulia Permaisuri untuk menikmati perjamuan istana yang berlangsung.

Musik pertama kembali dibunyikan. Dari sisi kanan landasan batu kedua Aula Injeong, terlihat lima orang penari mengenakan topeng kayu berukuran besar dengan kostum warna-warni dan selendang putih panjang di kedua tangan berjalan perlahan menuju ke arah karpet putih di bagian depan halaman yang rupanya dipersiapkan untuk pertunjukan tarian. Topeng kayu itu terlihat unik dengan warna merah tua dan terlihat seperti wajah seseorang yang sedang tersenyum dengan gigi besar yang diberi cat berwarna putih. Selain topeng kayu itu, para penari juga dilengkapi dengan anting-anting besar serta mengenakan kalung dan topi hitam yang disematkan dengan dua kelopak bunga poeni, ranting pohon dan tujuh buah persik sebagai perlambang pengusir roh jahat. Kostum warna-warni yang dikenakan oleh ke-lima penari itu memiliki arti dan filosofi tersendiri mengenai Teori Lima Elemen dalam kepercayaan yang dianut oleh seluruh rakyat Joseon. Kostum berwarna biru yang dikenakan penari melambangkan arah timur dan musim semi. Kostum berwarna merah melambangkan arah selatan dan musim panas. Kostum berwarna kuning melambangkan bumi dan berada di tengah-tengah. Kostum berwarna hitam melambangkan arah utara dan musim gugur. Sedangkan kostum berwarna putih melambangkan arah barat dan musim dingin.

Musik istana yang diberi judul Hidup Abadi Bagai Langit menjadi musik pembuka pengiring tarian. Ke-lima penari yang mengenakan kostum warna-warni itu berdiri dalam satu baris di tengah karpet putih yang telah disediakan di bagian depan halaman, dengan posisi menghadap raja, lalu secara serempak menyanyikan syair pembuka Cheoyongsa.

Silla seongdae soseongdae

Cheontaepyeong nahudeok

Cheoyong abi, isin insaengae

Sangbureoha sirandae

Samjaepallani ilsisomyeolhasyeotta

Ketika syair pembuka selesai dinyanyikan, ke-lima penari membungkukkan tubuh secara serempak, memberikan penghormatan kepada Raja Sukjong. Mereka kemudian mundur selangkah dari posisi semula, dan membentuk pola lingkaran, lalu saling memberi hormat dengan membungkukkan kepala dan mulai menggerakkan tubuh mengikuti musik yang dimainkan berikutnya. Penari bertubuh mungil yang mengenakan kostum berwarna kuning, berperan sebagai penyanyi utama dalam tarian yang memadukan antara gerakan dan nyanyian yang lebih dikenal dengan Tari Topeng itu. Suara sang penari yang sangat merdu berpadu dengan irama musik pengiring, membentuk suatu harmonisasi nada yang menggetarkan sukma semua orang yang menghadiri perjamuan itu. Musik yang mengalun kemudian berganti, dan ke-lima penari membentuk formasi yang dinamakan Menebar Bunga. Tiap gerakan diperagakan dengan indah dan penuh keanggunan khas tarian istana. Ketika musik yang dimainkan kembali berganti, para penari membentuk formasi empat penjuru mata angin, dan penari yang mengenakan kostum berwarna kuning berdiri di tengah-tengah. Pada formasi puncak, ke-empat penari di empat penjuru sedikit menekuk kaki mereka, menarikan gerakan seperti seseorang yang sedang menguntai dan menaikkan tangan. Sementara sang penari berkostum kuning di tengah-tengah melakukan gerakan yang sama sambil berdiri dengan pola berlawanan. Yang Mulia Raja memperhatikan tiap gerakan yang dilakukan oleh sang penari berkostum kuning dengan mata nyaris tak berkedip. Sebuah senyuman tipis melengkung di sudut bibirnya ketika ia menyadari siapa sesungguhnya sosok penari berkostum kuning yang menyembunyikan wajahnya di balik topeng kayu itu.

Seorang kasim berbaju hijau menuangkan teh ke dalam cawan yang dipegang oleh Putera Mahkota, yang kemudian menyerahkannya kepada sang raja. Yang Mulia Raja Sukjong tersenyum sambil menerima cawan yang diberikan oleh sang anak, lalu menenggak habis isinya dalam sekali tegukan. Yang Mulia Raja juga mempersilakan Kaisar Chen yang merupakan tamu kehormatannya untuk menikmati hidangan yang telah disajikan sambil menikmati pertunjukan tari yang masih berlangsung.

Sang raja tampan itu sejenak melepaskan pandangannya dari sang penari berkostum kuning, dan beralih merayapi wajah-wajah para pejabat pemerintahannya yang duduk di halaman aula berkarpet merah di hadapannya. Duduk di meja paling depan di sisi kiri adalah para pejabat dari Enam Kementrian yang mewakili enam departemen yang ada dalam pemerintahan: Departemen Personalia, Departemen Perpajakan, Departemen Ritus, Departemen Pertahanan, Departemen Kehakiman dan Departemen Pekerjaan, disusul para pejabat dari Dewan Negara di antaranya Kepala Penasehat Negara, Menteri Kanan serta Menteri Kiri dan beberapa biro penting lainnya. Meja di belakangnya dipenuhi oleh para pejabat dari fraksi Barat yang dipimpin oleh ayah mertuanya sendiri bersama seorang panglima perang yang kedudukannya setingkat di bawah Panglima Kang, namanya Panglima Hwang Jeong In. Para pejabat senior yang duduk di sisi kiri ini semuanya mengenakan pakaian berwarna merah. Sedangkan pejabat yang kedudukannya setingkat di bawah mereka mengenakan jubah biru, dan pejabat junior mengenakan jubah hijau. Yang membedakan kedudukan antara pejabat sipil dengan pejabat militer adalah pola lencana status yang tersulam di jubah masing-masing.

Sementara di sisi kanan, duduk para pejabat teras yang menempati posisi-posisi utama di pemerintahan serta para pejabat dari fraksi Selatan yang dipimpin oleh Pangeran Besar Yi An So yang merupakan adik raja satu-satunya dari selir yang didampingi oleh bawahan kepercayaannya, yakni Panglima Kang. Pejabat senior dari fraksi ini juga mengenakan pakaian berwarna merah untuk tingkatan senior, sementara untuk pejabat yang setingkat di bawahnya dan pejabat junior mengenakan pakaian berwarna sama dengan para pejabat dari fraksi Barat, namun ditambah dengan sulaman bunga teratai berukuran kecil di bagian kerah. Dan seperti halnya fraksi Barat, yang membedakan kedudukan antara pejabat sipil dengan pejabat militer adalah pola lencana status yang tersulam di jubah yang mereka kenakan. Di bagian paling belakang dari para pejabat dari kedua fraksi terbesar dalam pemerintahan itu, duduk para pejabat dari fraksi-fraksi yang lain yang lebih kecil. Mereka semua mengenakan pakaian berwarna merah, hijau dan biru yang dibedakan oleh sulaman bunga poeni di bagian tengah jubah untuk menandakan dari fraksi mana mereka berasal.

Musik kembali berganti, dan ke-lima penari dengan gemulai menarikan salah satu gerakan tari yang dinamakan Menggerakkan Lutut untuk Mengubah Arah. Yang Mulia Raja kembali mencurahkan perhatiannya pada pertunjukan tari yang berlangsung di depannya. Suara indah sang penari berkostum kuning masih mengalun lembut, membius sukma para pejabat pemerintahan serta seluruh tamu yang hadir. Gerakan-gerakan sulit dalam tarian yang ia peragakan sama sekali tak mempengaruhi suaranya. Tak lama, musik pengiring mengalun dalam nada lambat dan para penari kembali membentuk formasi awal yakni berbaris sejajar dan sang penari berkostum kuning mulai menyanyikan syair penutup yang diiringi oleh ke-empat rekannya sambil tetap meliuk indah menggerakkan selendang putih di tangan masing-masing.

Sanha cheolliguk e

Gagiol chongchonghasyatta

Geumjeongujunge myeongilwolhasini

Hoehoeseosokeun chundaesangieoneul

Setelah syair penutup dalam tarian selesai dilantunkan, para penari segera meninggalkan halaman depan yang dijadikan sebagai panggung pertunjukan sambil melakukan gerakan yang dinamakan Kelopak Bunga Jatuh dan Air Mengalir dengan iringan musik pengiring yang kian melambat. Hal ini secara simbolis menggambarkan bahwa ke-lima penari menebarkan keberkatan dan keberuntungan ke arah penonton dengan cara mengayunkan selendang panjang di tangan mereka masing-masing. Ketika para penari sudah menghilang di belakang pintu masuk, tepuk tangan meriah terdengar saling sambut memenuhi ruangan perjamuan yang dihadiri oleh seluruh pejabat pemerintahan Kerajaan Joseon itu.

Pangeran Besar Yi An So berdiri dari duduknya sambil mengangkat cawan berisi teh dengan kedua tangannya, dan menghadapkannya di depan wajahnya.

"Selamat, Yang Mulia! Berkat kepemimpinan Anda dan restu langit, pasukan kita berhasil mengalahkan pihak Ming. Sekali lagi selamat, Yang Mulia," seru adik tiri sang raja itu dengan suara lantang. Seulas senyum menghiasi wajahnya yang memiliki sedikit garis kemiripan dengan sang raja.

"Selamat, Yang Mulia…! Joseon benar-benar di bawah lindungan langit selama kepemimpinan Anda," Panglima Hwang Jeon In yang berwajah angkuh turut melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan oleh Pangeran Besar Yi An So. Ia juga bangkit dari duduknya, dan mengangkat cawan berisi teh ke depan wajahnya dengan menggunakan kedua tangannya.

"Selamat, Yang Mulia…!" para pejabat dari semua fraksi serempak menyerukan hal yang sama. Sang raja tersenyum dan meminum kembali teh di cawannya yang telah diisi lagi oleh kasim di sampingnya.

"Terima kasih. Namun ketahuilah bahwa kemenangan yang kita peroleh bukan hanya karena usahaku sendiri. Berterima kasihlah pada Selir Hwan, karena strategi jitu yang ia miliki, maka pasukan kita bisa memenangkan pertempuran dalam waktu yang lebih singkat. Jangan lupakan pula jasa-jasa Panglima Kang, serta para prajurit lain yang telah berperang. Terutama juga untuk Kaisar Chen dan para prajurit Kerajaan Tiongkok yang telah membantu kita," jawab sang raja dengan bijak. Sang raja mengarahkan pandangannya ke satu titik, dan tersenyum lebar ketika melihat selir terkasihnya itu sedang berjalan menuju ke arahnya, dengan didampingi seorang dayang yang sebelumnya telah ia perintahkan untuk memanggil si remaja cantik itu.

Jaejoong yang telah melepaskan pakaian penarinya dan terlihat sangat memukau dalam balutan dangui berwarna merah muda dipadukan dengan seuran chima berwarna merah marun memberikan penghormatan kepada sang suami saat jarak antara mereka hanya sekitar dua langkah. Ia menumpukan tangan kanannya di atas tangan kirinya, lalu menundukkan kepala dan membungkuk tiga kali. Senyum sang raja semakin lebar merekah. Ia lalu meminta sang selir untuk duduk tepat di sebelah kirinya, di tengah-tengah antara ia dan Perdana Menteri Go yang duduk agak sedikit ke depan. Jaejoong yang menghiasi sanggulnya dengan tusuk konde berlambang phoenix yang dilengkapi dengan ornamen logam berbentuk bunga di bagian tengah rambutnya tersenyum kecil menatap suaminya, lalu berjalan pelan menghampiri sang raja. Ia lalu mendudukkan diri di samping sang suami setelah sebelumnya sedikit menganggukkan kepala pada Yang Mulia Permaisuri, Yang Mulia Ibu Suri, Putera Mahkota Changmin, juga pada Perdana Menteri Go yang sempat meliriknya tanpa kata.

"Berikan secawan pada Selir Hwan," perintah raja pada kasim di sampingnya.

"Baik, Yang Mulia," jawab kasim sambil menuangkan teh ke dalam cawan yang dengan sigap disiapkan oleh Putera Mahkota Changmin. Putera Mahkota lalu menyerahkan cawan itu pada sang ayah.

"Kontribusi yang kau berikan ketika pertempuran melawan Ming sangat besar. Jika bukan karenamu, mungkin pada hari ini kita semua tidak akan duduk di sini untuk menikmati perjamuan ini. Ini untukmu, Sayang…," ucap sang raja tulus sambil menyerahkan cawan di tangannya. Jaejoong menerima cawan dari tangan sang suami dengan tangan sedikit bergetar dan wajah bersemu merah. Setelah cawan berpindah tangan, sang raja mengangkat cawan miliknya sendiri, lalu menghadapkannya pada sang telir terkasih, sambil mengajak seluruh yang hadir untuk bersulang.

"Untuk Selir Hwan dan kontribusinya yang begitu besar bagi Kerajaan Joseon. Selamat, Selir Hwan…!" seru Pangeran Besar Yi An So sambil mengangkat cawannya, diikuti oleh para pejabat di belakangnya serta para pejabat dari fraksi Barat juga fraksi lainnya. Seruan kekaguman bersahutan terdengar dari para pejabat pemerintahan, baik dari pihak yang sudah pernah melihat raut wajah sang selir terkasih raja itu, mau pun dari pihak yang baru pertama kalinya melihat dari dekat paras menawan sang selir yang sejak menjejakkan kakinya ke dalam istana sudah menjadi bahan pembicaraan karena kecantikan dan kemampuannya memainkan serulingnya itu.

"Sebagai hadiah atas jasa-jasa Selir Hwan, maka aku menghadiahkan lima bidang tanah untuknya di wilayah selatan, serta sebuah paviliun pribadi yang akan dibangun di wilayah utara. Aku juga sudah mempersiapkan sebuah peternakan di wilayah timur atas nama Selir Hwan," tutur sang raja yang disambut dengan anggukan kepala oleh sebagian besar pejabat. Wilayah selatan dikenal dengan tanahnya yang sangat subur, karena itu wilayah tersebut dijadikan sebagai pusat pertanian. Sedangkan wilayah utara dikenal sebagai salah satu wilayah perbukitan yang berhadapan langsung dengan laut. Banyak pejabat pemerintahan yang membangun paviliun pribadi sebagai tempat peristirahatan sementara di tempat ini. Sementara itu, wilayah timur dikenal sebagai wilayah yang banyak memiliki hamparan padang rumput luas, sehingga sangat cocok dijadikan sebagai pusat peternakan. Menurut sebagian besar pejabat yang hadir di dalam perjamuan itu, hadiah yang diberikan oleh sang raja sangat pantas diterima oleh selir Hwan. Akan tetapi, tetap saja ada sebagian pejabat yang berbisik-bisik mengungkapkan keberatan mereka akan hal itu. Menurut mereka, hadiah yang diberikan oleh sang raja terlalu berlebihan. Meski begitu, tidak ada satu pun di antara para pejabat yang tidak setuju dengan keputusan sang raja itu yang mengungkapkan ketidaksenangan mereka secara langsung.

Perdana Menteri Go yang duduk di sebelah Jaejoong dengan sebuah senyuman terkembang di bibirnya sedikit memutar duduknya dan mengarahkan cawan yang sejak tadi dipegangnya menghadap Jaejoong dan mengajaknya bersulang.

"Kau benar-benar hebat, Selir Hwan. Dalam usia semuda ini kau bahkan memiliki kemampuan mengatur strategi perang yang jauh lebih hebat daripada seorang panglima perang kawakan," sanjung Perdana Menteri Go dengan ketulusan yang terlihat nyaris sempurna, setelah menenggak sebagian isi cawannya. Jaejoong yang untuk pertama kalinya berinteraksi secara langsung dengan lelaki separuh baya di depannya yang merupakan musuh utama keluarganya itu mengamati wajah tua sang perdana menteri lekat-lekat. Sekuat tenaga remaja cantik itu berusaha mempertahankan air mukanya agar tidak menampakkan raut kebenciannya kepada lelaki separuh baya yang selalu berpembawaan tenang itu.

"Tuan Perdana Menteri Go terlalu memuji. Joongie tidaklah sehebat itu dan masih harus banyak belajar dari orang-orang seperti Tuan. Dalam peperangan, mengalahkan seribu musuh yang nyata memang jauh lebih mudah daripada menghancurkan seorang musuh dalam selimut, bukan? Setidaknya begitulah yang Joongie ketahui dari sebuah buku yang pernah Joongie baca. Tuan Perdana Menteri dikenal sebagai seorang pejabat yang sangat bijak dan sudah lama mengecap asam garam kehidupan, tentu sangat paham akan makna di sebalik ucapan itu, bukan?" sindir Jaejoong secara halus sambil meneguk teh yang berada dalam cawannya. Seringai tipis terpasang di wajahnya yang sedikit menunduk saat dengan ekor matanya ia melihat Perdana Menteri Go menghentikan gerakan tangannya yang hendak kembali menenggak isi cawannya setelah mendengar ucapan remaja cantik itu. Bahkan rahang sang perdana menteri sempat terlihat mengeras sesaat, sebelum beralih membentuk sebuah senyuman.

"Selir Hwan ternyata memiliki minat membaca yang sangat tinggi, eoh? Apakah di dalam buku yang kau baca juga dituliskan agar sebaiknya seekor anak kucing yang baru saja memiliki gigi sebaiknya mengatupkan saja bibirnya sebelum seluruh giginya tumbuh?" jawab Perdana Menteri Go dengan sikap tenang seperti biasanya. Sebuah senyum kecil lagi-lagi terpasang di wajahnya. Jaejoong menggeleng-gelengkan kepalanya dalam gerak lambat, membuatnya terlihat begitu menggemaskan.

"Tidak, Tuan Perdana Menteri. Tidak ada nasehat seperti itu dalam buku yang Joongie baca. Tapi Joongie akan mengingat baik-baik nasehat Tuan Perdana Menteri hari ini. Ternyata apa yang orang-orang katakan tentang Anda itu memang benar. Anda sangat bijak dan Joongie sungguh merasa mendapatkan kehormatan bisa mendapatkan nasehat Anda yang sangat berharga," puji Jaejoong dengan ketulusan palsu. Ia kembali membungkukkan tubuhnya, lalu mengalihkan pandangan pada sang suami.

"Aku tidak tahu kalau ternyata kau juga sangat pandai menari, Sayang," potong sang raja cepat ketika dilihatnya sang ayah mertua kembali membuka mulut, hendak membalas ucapan selir terkasihnya. Mulut Perdana Menteri Go yang sempat terbuka kembali terkatup rapat. Lelaki setengah baya berpembawaan tenang itu mengalihkan pandangannya ke depan, setelah sebelumnya sempat melirik ke arah putri bungsunya yang tidak menunjukkan perubahan emosi sedikit pun. Sedangkan Yang Mulia Ibu Suri tampak masih mengulas senyuman tipisnya mendengar perkataan demi perkataan yang diucapkan oleh namja cantik itu. Dalam hati, wanita yang masih terlihat cantik itu memuji keberanian Jaejoong dalam bersahut kata dengan Perdana Menteri Go.

"Yang Mulia tahu kalau salah satu dari penari tadi adalah Joongie?" Jaejoong menampilkan ekspresi kaget yang membuatnya terlihat semakin manis dengan mata besarnya yang membulat sempurna.

"Tentu saja aku mengetahuinya," tukas sang raja dengan cepat. Yang Mulia Raja kemudian sedikit mencondongkan tubuhnya ke arah Jaejoong dan mengarahkan bibirnya ke telinga remaja cantik itu. "Aku ini suamimu, dan aku mengenal dengan baik bentuk tubuhmu. Baik ketika kau memakai pakaian, atau tidak sama sekali," bisik sang raja yang kontan membuat rona merah menjalar dari kedua telinga sang selir terkasih, lalu merambat hingga ke kedua belah pipinya. Yang Mulia Permaisuri yang melihat secara jelas semua kejadian itu mengepalkan tangannya yang tersembunyi di balik lengan pakaiannya meski tetap memasang raut wajah tenang. Hal yang ia pelajari dengan baik dari sang ayah.

Jaejoong yang dilanda perasaan malu luar biasa mendengar ucapan suaminya, mengalihkan pandangannya menatap buah-buahan yang terhidang di atas meja persegi berkaki rendah di depannya. Pandangannya tertuju pada rangkaian anggur hijau segar dalam piring keramik datar yang terlihat begitu menggoda.

"Bolehkah Joongie menyuapkan anggur ini kepada Yang Mulia?" tanya Jaejoong meminta ijin dengan nada pelan kepada suaminya setelah menekan perasaan malu yang selalu menyeruak jika ia mengingat kembali kata-kata suaminya itu. Sang raja tersenyum lebar.

"Tentu saja, Sayangku. Tak ada larangan bagi setiap istri untuk menyuapkan anggur pada suami mereka," jawab sang raja. Jaejoong tersenyum kecil, lalu memetik satu buah anggur hijau segar dari tangkainya. Ia lalu menyuapkan anggur hijau itu ke mulut suaminya dan langsung menundukkan wajahnya ketika sang raja tak hanya mengunyah anggur yang ia suapkan, tapi juga menggigit pelan ujung jarinya yang juga ikut masuk ke dalam mulut sang raja.

"Yang Mulia Raja Sukjong, sahabatku. Setahuku Anda adalah seseorang yang sangat menyukai puisi. Bagaimana jika Anda membuat dan membacakan sebuah puisi untuk selir terkasih Anda ini?" celetuk Kaisar Chen sambil memandangi kemesraan sahabat lamanya dengan selir terkasihnya itu dengan wajah berbinar. Ia sangat tahu kalau sahabatnya yang berusia lebih muda beberapa tahun darinya itu termasuk seseorang yang sangat menyukai seni.

"Kaisar Chen, Anda membuatku malu. Kesibukanku memerintah negeri ini membuatku sudah cukup lama juga tidak bergelut dengan dunia seni. Aku khawatir kemampuanku mencipta sebuah puisi sudah jauh menurun," tolak Raja Sukjong dengan halus sambil turut menyuapkan sebutir anggur ke dalam mulut selir terkasihnya yang kecil.

"Anda hanya terlalu merendah, Yang Mulia. Tidak ada yang meragukan kemampuan Anda. Ayolah, apa Anda ingin membuat sepasang mata indah itu dihiasi kabut kekecewaan?" desak Kaisar Chen sambil mengulum senyum.

Sang Raja Sukjong memerhatikan sejenak wajah selir terkasih yang tak pernah bosan untuk dipandanginya. Sebentuk wajah menawan dengan sepasang bola mata besar yang dihiasi bulu-bulu lentik, hidung yang mancung, serta bibir indah merekah yang terlihat seperti kelopak mawar merah.

"Hemmm…, baiklah! Aku akan mencobanya," putus sang raja setelah berpikir untuk beberapa saat.

Raja Sukjong masih terus memandangi selir terkasihnya itu. Ia kemudian mengibaskan lengan jubah yang ia kenakan, lalu bangkit berdiri dari duduknya. Dihembuskannya napas panjang, lalu kembali menatap sepasang mata indah remaja cantik yang sangat dicintainya itu. Jaejoong balas menatap sepasang mata sang suami yang terlihat tajam seperti mata seekor elang, dengan tatapan penuh pemujaan.

Pertama aku melihatmu,

seribu daun maple berguguran mengikuti gerak angin yang bercengkerama di awal musim semi.

Kau datang dengan taburan pesona,

umpama camar kecil yang menyulut pagi dengan sebentuk senyum mentari, dengan pesan cinta meliuk di lentik jemari.

Menjerat sukma dengan jejaring kata, memasung hati dengan kemilau kasih.

Jaejoong menundukkan wajahnya, berusaha menyembunyikan rona merah yang dengan cepat kembali menjalar merambat kedua pipinya demi mendengar bait-bait pertama puisi yang dicipta oleh suaminya itu. Sementara Selir Suk dan selir-selir lainnya yang duduk di belakang sang raja beradu pandang, dan saling bertukar senyum melihat sikap malu-malu selir terkasih raja itu. Sangat berbeda dengan sikap Yang Mulia Permaisuri yang harus mati-matian mempertahankan raut wajah tenangnya, sementara hatinya sendiri bergolak menahan cemburu sekaligus amarah yang mendidih.

Laksana setangkai teratai di permukaan tasik,

maka kau yang terpilih di antara semua padang bunga yang beradu cantik

Jadi genggam jemariku, dan bersama akan kita lepaskan benang cinta yang panjangnya menyentuh langit, hingga usia mencumbu renta.

Lalu ketika senja mengintip dari balik bukit,

saatnya kau menemaniku menyusuri setapak jalan dalam babak kehidupan, dimana aku akan senantiasa berjalan bersisian denganmu, hingga yang kau ingat hanyalah aku.

Hanya aku.

Jaejoong membuka matanya yang dihiasi bulu-bulu mata lentik yang sesaat menutup setelah sang raja selesai membacakan sebuah puisi untuknya. Sebutir airmata bergulir di ekor matanya, namun cepat-cepat disekanya sebelum menuruni lembah pipinya yang merona. Remaja cantik itu merasa wajahnya kian memanas. Hatinya mendadak bergemuruh, seolah tak kuasa menahan rasa bahagia yang membuncah di hatinya mendengarkan ungkapan cinta sang suami yang dituangkan melalui bait-bait puisi dengan kata-kata yang terpilih. Tanpa mempedulikan keadaan di sekelilingnya, Jaejoong bangkit dari duduknya dan menghambur ke dalam pelukan suaminya. Airmata yang sejak tadi ditahannya seketika tumpah ketika berada dalam dekapan hangat lelaki tampan yang selalu membuat aliran darahnya seolah berbalik itu.

"Aku mencintaimu, Sayang. Aku mencintaimu," bisik sang raja sambil terus memeluk selir terkasihnya itu. Jaejoong yang tak membalas ungkapan cinta sang suami karena belum yakin dengan perasaannya sendiri semakin menenggelamkan wajahnya di dada bidang sang raja. Bukan baru kali ini saja sang raja mengungkapkan perasaannya pada remaja cantik itu, akan tetapi Jaejoong selalu merasa ada sebuah taman bunga yang merekah semerbak dengan aneka kupu-kupu beterbangan di hatinya setiap kali sang suami mengutarakan isi hatinya. Seluruh pejabat pemerintahan serta tamu undangan yang menghadiri perjamuan itu dengan jelas dapat menyaksikan betapa besarnya cinta yang dimiliki oleh sang raja junjungan mereka terhadap remaja cantik yang berada di dalam pelukannya itu.

Malam jatuh semakin larut, namun Jaejoong yang merasakan perasaan damai luar biasa di dalam dekap hangat suaminya tak ingin sedikit pun melepaskan diri dari pelukan itu. Yang Mulia Ibu Suri, Yang Mulia Permaisuri, Putera Mahkota, Perdana Menteri Go, Kaisar Chen juga selir-selir Raja Sukjong yang lain sudah sejak beberapa waktu lalu berpamitan meninggalkan perjamuan untuk beristirahat melepas lelah. Jaejoong perlahan-lahan mengangkat wajahnya, yang langsung disambut dengan tatapan lembut dari sepasang mata elang sang suami. Dengan segenap keberaniannya, Jaejoong yang sedikit berjinjit memberikan sebuah ciuman singkat di pipi suaminya itu, lalu buru-buru menundukkan wajahnya.

Yang Mulia Raja mendudukkan Jaejoong di atas pangkuannya, memeluknya dengan sikap melindungi. Poci-poci berisi teh telah sejak tadi dibiarkan kosong, berganti dengan arak untuk membantu mengusir hawa dingin yang mulai mencumbu setiap pori-pori tubuh. Kabut yang turun di sekitar tempat itu mulai menebal. Sang raja menuangkan arak ke dalam cawan selir terkasihnya, lalu menuangkannya pula ke dalam cawan miliknya. Ia lalu menyerahkan cawan yang telah berisi arak itu kepada selir terkasihnya. Jaejoong menerima cawan dari sang suami dengan sebuah senyuman tipis, lalu segera mendekatkan cawan itu ke bibirnya. Dengan cepat, ditenggaknya isi cawan itu hingga tandas. Sang raja yang masih bisa menyaksikan kulit leher sang selir terkasih yang terlihat menyembul dari balik kerah dangui yang ia kenakan tampak menelan ludahnya dan dengan cepat menghabiskan isi cawannya.

Dimulai dengan cawan pertama, lalu berlanjut pada cawan-cawan berikutnya hingga tak terasa sudah lebih dari tiga guci arak yang mereka habiskan. Kepala Pengawal Kim yang sejak awal mengawasi junjungannya dengan bersembunyi di antara dahan sebatang pohon pinus yang tumbuh di sisi kanan Aula Injeong segera meluruk turun dari tempat persembunyiannya. Ia lalu melangkahkan kaki lebar-lebar menuju ke tempat sang raja. Namun belum juga sampai ke tempat tujuannya, seseorang berjalan dengan tergesa dari arah berlawanan yang langsung menabrak bahunya, membuat kepala pengawal berwajah manis itu nyaris jatuh tersungkur kalau tidak cepat menahan tubuhnya dengan bertumpu pada pedangnya. Kepala Pengawal Kim mengerutkan keningnya begitu menyadari bahwa sosok yang telah menabraknya itu adalah salah seorang pejabat militer dari fraksi Barat yang sepengetahuannya masih memiliki hubungan kekeluargaan dengan Perdana Menteri Go.

"Anda tidak apa-apa, Panglima Go?" tanya Kepala Pengawal Kim kepada pejabat militer yang diketahuinya bernama Go Seung Ri yang berpangkat panglima itu. Kepala pengawal berwajah manis itu cukup heran dengan tingkah sang panglima yang sejak tadi terus memegangi lengan kirinya sambil meringis seolah menahan sakit yang teramat sangat. Kening Kim Junsu semakin mengerut. Matanya yang sipit terlihat semakin menyipit. Ada apa sebenarnya dengan pejabat di depannya itu?

Bukannya menjawab pertanyaan dari Kepala Pengawal Kim, pemuda tampan yang dipanggil Panglima Go itu malah bergegas meninggalkan tempat itu dengan langkah tergesa sambil terus memegangi lengan kirinya. Lengan jubahnya dikibas-kibaskan, seakan berusaha mendinginkan bagian tubuh yang sejak tadi dipegangnya itu. Suatu kesadaran menyentak benak Kepala Pengawal Kim secara tiba-tiba. Namun cepat-cepat ia menggelengkan kepalanya, berusaha menyangkal satu pemikiran aneh yang mendadak mengisi ruang pikirnya. Ia kembali melanjutkan perjalanannya dan bergegas menghampiri sang raja junjungannya. Kepala Pengawal Kim terlihat mencondongkan tubuhnya, dan membisikkan sesuatu ke telinga sang raja. Raja Sukjong yang sepertinya mulai mabuk tertawa pelan setengah bergumam dan mengangguk-anggukkan kepalanya mendengar kata-kata yang dibisikkan oleh kepala pengawal kepercayaannya itu. Ia lalu berdiri dengan sedikit terhuyung dan segera menggendong selir terkasihnya. Jaejoong yang seumur hidupnya baru kali ini merasakan yang namanya mabuk, terlihat terkikik pelan dalam gendongan suaminya dengan wajah memerah. Celotehan-celotehan tak jelas yang diucapkannya dengan setengah sadar terlontar dari bibirnya. Kedua tangannya dengan manja melingkari leher sang suami yang segera meninggalkan aula utama itu setelah sebelumnya masih menyempatkan diri berpamitan pada para pejabat pemerintahannya yang satu per satu juga mulai beranjak meninggalkan tempat perjamuan. Kepala Pengawal Kim dengan setia berjalan di belakangnya, mengantarkan sang raja ke ruangan peristirahatan selir terkasihnya.

ooo 000 ooo

Setelah meminta Dayang Choi dan Dayang Kwan yang merupakan dayang kepercayaan Jaejoong meninggalkan ruangan peristirahatan remaja cantik itu, Yang Mulia Raja rupanya yang belum sepenuhnya mabuk dan masih menggendong selir terkasihnya itu segera membawa Jaejoong menuju kamar tidurnya. Sementara Kepala Pengawal Kim yang mengantarkan sang raja sampai di depan pintu kediaman pribadi Jaejoong segera meninggalkan tempat begitu raja berwajah tampan bersama selir terkasihnya itu berada di dalam. Tak lama, kedua dayang kepercayaan Jaejoong juga mengikuti jejak Kepala Pengawal Kim meninggalkan kediaman pribadi selir terkasih raja itu, setelah terlebih dahulu menutup pintu dengan rapat, menyisakan dua orang berseragam prajurit dengan pedang terhunus di tangan yang mendapat giliran jaga. Yang Mulia Raja yang sebagian kesadarannya telah diambil alih oleh arak yang diminumnya menghentikan langkahnya sejenak ketika jarak antara mereka dengan pembaringan hanya tinggal sekitar lima langkah. Diputar-putarnya tubuhnya yang masih tetap menggendong Jaejoong sambil terkekeh pelan. Jaejoong yang berada dalam gendongannya memekik manja, lalu ikut terkikik pelan. Setelah beberapa kali melakukan gerakan berputar, sang raja segera menurunkan Jaejoong dari gendongannya dengan napas sedikit terengah.

"Joongie…!" desah sang raja ketika sang selir terkasih malah merapatkan tubuhnya ke tubuh kekar sang suami. Dengan gerakan menggoda, Jaejoong yang wajahnya terlihat memerah melingkarkan kedua tangannya ke leher sang suami. Begitu dekat wajah mereka, sehingga Yang Mulia Raja yang menundukkan kepalanya dapat merasakan desahan napas remaja cantik yang sedikit menengadahkan kepalanya itu menerpa kulit wajahnya. Begitu segar dan harum, sekaligus memabukkan. Membuat pikiran sang raja semakin tidak menentu.

Dengan gerakan agak tergesa dan napas sedikit memburu, Jaejoong yang sebagian kesadarannya juga telah diambil alih oleh arak yang sudah berpindah ke dalam perutnya, melepaskan gonryongpo yang membalut tubuh kekar sang suami dan menjatuhkannya begitu saja di ujung kakinya. Sedangkan sang raja dengan sisa kesadaran yang dimiliki hanya diam saja, membiarkan sang selir terkasih yang memegang kendali awal dalam pelayaran mereguk madu cinta mereka. Jaejoong memundurkan langkah kakinya tanpa sedikit pun melepaskan kedua tangannya yang kembali melingkar di leher sang raja, sehingga sang raja juga turut melangkah bersamanya dengan kedua tangan berpegangan pada pinggang ramping sang selir terkasih. Kedua bola matanya yang besar dan indah sedikit pun tidak melepaskan pandangan dari wajah tampan sang suami yang menurutnya terlihat semakin tampan. Begitu merasakan paha bagian belakangnya yang masih terbungkus pakaian lengkap menyentuh sisi pembaringan, Jaejoong segera merendahkan tubuhnya sambil menarik leher sang suami. Yang Mulia Raja jadi ikut merendahkan tubuhnya, berlutut dengan kaki tertekuk sejajar dengan ranjang besar yang menopang berat tubuh mereka berdua. Aliran darah sang raja seketika seakan terhenti ketika bibir Jaejoong melumat bibirnya disertai gairah menggelora.

Tanpa melepaskan lumatannya, tangan Jaejoong yang pada saat sepenuhnya sadar tidak akan berani bertindak seliar sekarang bergerak cepat melepaskan pakaian yang tersisa di tubuh suaminya, hingga dalam waktu sebentar saja sang raja berwajah tampan itu telah polos tanpa sehelai benang pun yang menutupi tubuh tegapnya. Jemari lentiknya membelai-belai senjata kelelakian sang suami yang terlihat sudah menegang sempurna. Tegak, seakan seorang prajurit yang sudah siap bertarung di medan laga. Sang raja memejamkan matanya, menikmati kehalusan jari-jemari sang selir terkasih yang semakin piawai memanjakan dirinya. Memberikan sentuhan-sentuhan lembut pada senjata kebanggaannya yang akan membawa mereka mengarungi samudera kenikmatan.

"Sayaaang…," desah lelaki bertubuh kekar itu, ketika sang selir terkasih semakin mempercepat gerakan tangannya memanja senjata kebanggaannya. Sang raja yang semula diam saja sambil berusaha menahan gairah yang menggebu-gebu menggelegak dalam dada akhirnya mengambil kendali. Direngkuhnya tengkuk sang selir terkasih dengan sedikit kasar, berusaha memperdalam ciuman mereka. Dilumatnya bibir remaja cantik itu disertai gairah menggelegak, menuntut pelampiasan secepatnya.

"Ahhh…," Jaejoong mendesis saat merasakan jari-jari tangan sang suami merayapi dadanya yang masih terbungkus pakaian. Genggamannya pada senjata kebanggaan sang suami terlepas.

Namja cantik itu merebahkan tubuhnya, begitu pula sang raja yang ikut merebahkan tubuhnya di atas tubuh indah selir terkasihnya itu. Kembali dilumatnya bibir merah menggoda yang terlihat sedikit membengkak itu. Jaejoong menggeliat-geliatkan tubuhnya di bawah himpitan sang suami yang bergerak cepat melepaskan dangui dan seuran chima merah hati yang membalut tubuh indahnya. Jaejoong ikut membantu sang suami melepaskan pakaian dalam yang membalut tubuhnya itu dengan menggerak-gerakkan tubuhnya. Sebentar saja, kondisi Jaejoong sudah polos seperti halnya sang suami, tanpa sehelai benang pun yang melekat di tubuhnya. Pakaiannya berserakan di samping tubuhnya sendiri.

"Ooohhh, Yang Muliaaa…," rintih Jaejoong mendesah.

"Aku menginginkanmu, Sayang…. Sangat menginginkanmu," ujar Yang Mulia Raja dengan deru napas memburu. Sepasang matanya tak berkedip memandangi tubuh polos selir terkasihnya yang dibalut kulit seputih susu yang tampak pasrah di bawah himpitannya.

"Joongie milik Yang Mulia. Joongie tidak akan menolak apa pun yang ingin Yang Mulia lakukan pada Joongie," jawab Jaejoong cukup berani. Sambil berkata begitu, jari-jari tangannya yang lentik meraba rahang tegas sang suami. Jari-jari lentik itu akhirnya merayap turun ke bibir berbentuk hati milik sang raja. Yang Mulia Raja merekahkan sedikit bibirnya, sehingga jari tangan sang selir terkasih itu tergigit pelan olehnya. Pandangan mata mereka masih saling beradu, sampai akhirnya mata Jaejoong menjadi semakin sayu. Bahkan sekarang mata remaja cantik itu menjadi sedikit terpejam, karena sang raja memagut jari-jari lentik itu dengan kelincahan lidahnya yang menggoda hati.

"Ssshhh, ahhh…! Yang Muliaaa…!" Jaejoong mulai mendesis merasakan hangatnya kenikmatan di ujung jari-jarinya itu.

Sang raja turut merabakan jarinya di permukaan bibir merah selir terkasihnya. Tanpa berpikir panjang lagi, Jaejoong pun merekahkan bibir, membuka sedikit mulutnya, dan menggigit ujung jari sang suami. Akhirnya jari telunjuk sang raja pun sengaja dibenamkan ke mulut Jaejoong oleh remaja cantik itu sendiri. Kepalanya yang maju ke depan membuat jari itu terbenam semakin dalam di mulutnya dan Jaejoong memagutnya dengan liar.

Yang Mulia Raja ikut memejamkan matanya, menikmati pagutan liar Jaejoong pada jari telunjuknya. Tapi tangan yang satunya mulai merayapi paha sang selir terkasih yang terlihat begitu menggoda penglihatannya.

"Ooouuuhhh…!" Jaejoong mengerang sambil melepaskan jari telunjuk sang raja dari mulutnya.

Tangan sang raja di paha remaja cantik itu semakin nakal. Senjata kebanggaannya yang berukuran lebih kecil telah menegang kaku. Sang raja dengan keahliannya sebagai nahkoda handal dalam pelayaran menuju samudera keindahan dunia terus saja mempermainkan daging yang menegang kaku itu. Membelai sambil melakukan gerakan turun naik yang semakin lama semakin cepat pada senjata kebanggaan selir terkasih yang berada dalam genggamannya. Menghadirkan cairan licin yang kemudian dibalurkan sang raja ke seluruh bagian daging yang menegang kaku itu. Jaejoong pun kian menggeliat seraya mendesah panjang. Akhirnya namja cantik itu bergeser lebih maju lagi. Tangannya meraih tengkuk sang raja, mendekatkan kepala sang raja berwajah tampan itu, lalu melumat bibir sang suami dengan gairah menggelora.

Malam semakin jatuh hingga tengah malam hampir menjelang. Semakin larut semakin liar ciuman dan gerakan-gerakan sang raja menerjang sekujur tubuh selir terkasihnya. Remaja cantik itu tak kuasa berbuat apa-apa lagi selain tergeletak di atas pembaringan dalam keadaan polos dengan kedua paha terbuka lebar dan membiarkan bibir dan lidah nakal sang suami menyusuri setiap lekukan indah di tubuhnya.

"Yang Muliaaa…! Joongie sudah tidak kuat lagiii…," rengek Jaejoong sambil menggeliatkan tubuhnya yang seolah terbakar oleh api gairah yang sulit dipadamkan. Di sekujur tubuhnya yang terbalut kulit seputih susu, bertaburan jejak cinta kemerahan yang ditinggalkan oleh sang suami. Ia dengan kuat meremas rambut kepala sang suami untuk menahan ledakan rasa nikmat yang semakin mendorong jiwanya untuk terbang ke puncak kemesraan karena ulah tangan nakal sang suami yang tak melewatkan sejengkal pun bagian tubuhnya untuk disentuh. Remaja cantik itu meraih kepala suaminya dan menuntun mulut sang suami agar menyentuh daging kecil di ujung dadanya yang sedikit membusung, tak seperti layaknya dada namja kebanyakan.

"Ooouuuhhh, Yang Muliaaa…!" remaja cantik itu kembali merengek. Ia menggeram gemas ketika kenikmatan itu datang akibat pagutan lembut sang suami di ujung dadanya.

Akhirnya, setelah mendengar rengekan Jaejoong untuk kesekian kalinya, Yang Mulia Raja memberikan apa yang dituntut batin selir terkasihnya itu. Peluh mulai mengalir dari pori-pori tubuh sang raja yang kekar itu. Butir demi butir menetes membasahi dada selir terkasihnya, membuat sepasang daging kecil berwarna merah hati yang tumbuh di sana terlihat menegang kaku dan menggoda hasrat kelelakiannya. Jaejoong yang masih belia tak ingin kalah oleh suaminya yang terkadang menggerayangi tubuhnya dengan kasar. Remaja cantik itu justru menyukai sikap kasar suaminya dan lebih ganas memberikan perlawanan asmaranya.

"Aaahhh, Yang Muliaaa…!" Jaejoong tersentak mengejang ketika merasakan sang suami telah sepenuhnya menyatu dengan dirinya, membuat pintu surga miliknya terasa sedemikian penuh. Diremasnya lengan sang suami yang menyangga tubuh indahnya itu, sementara kedua kakinya terbuka lebar dan bertumpu di kedua pundak sang suami.

"Kau benar-benar menggodaku, Sayang. Jangan salahkan aku kalau tak mampu menahan diriku lebih lama lagi."

Perahu cinta pun berlayar mengarungi samudera kenikmatan. Sang raja dan selir terkasihnya saling unjuk keganasan. Jaejoong menggerakkan tubuhnya dengan liar di bawah himpitan sang suami yang juga menggeluti tubuhnya dengan gerakan tak kalah liar. Keduanya seakan mengamuk melampiaskan rasa nikmat yang membahagiakan hati. Sang raja sebagai nahkoda handal mengendalikan biduk cinta mereka dengan kecepatan penuh, seakan tak ingin terlambat mencapai puncak kemesraan.

"Aaakkkhhh…!" Jaejoong yang kesadarannya benar-benar telah diambil alih oleh minuman yang diminumnya memekik keras ketika tiba pada puncak kemesraannya. Ia sama sekali tak memikirkan jika jeritan kerasnya bisa didengar dengan jelas oleh para prajurit yang bertugas menjaga kediamannya. Tubuh remaja cantik itu tersentak-sentak, seakan merasakan pusaran air yang mengalirkan seribu serat keindahan. Untuk beberapa saat remaja cantik itu tidak mengeluarkan suara lagi karena tersumbat oleh selaksa nikmat. Ia hanya memejamkan matanya kuat-kuat dan membuka mulutnya bersama hentakan napas terputus-putus.

Sang raja yang belum mendapatkan puncak kemesraannya membalikkan tubuh sang selir yang basah oleh keringat dan masih memeluknya erat, seakan tak ingin tubuh kekar sang suami turun dari atas tubuhnya. Kembali ia mengayuh biduk cinta mereka, membawa sang selir terkasih yang seakan mendapatkan kembali tenaganya untuk menyusuri samudera kenikmatan dalam bentuk penyatuan raga mereka. Waktu yang terus merambat sama sekali tak dipedulikan oleh kedua insan yang tengah berpacu meraih puncak terindah dalam penyatuan cinta itu. Seakan tanpa lelah, mereka terus bergelut memadu cinta. Jaejoong sendiri tak menyadari entah kapan pelayaran mereka menaiki biduk cinta itu berakhir. Yang terdengar di telinganya sebelum matanya merapat sempurna beserta kesadarannya yang sepenuhnya menghilang adalah suara kokok panjang ayam jantan yang terdengar semakin sayup di pendengaran.

ooo 000 ooo

Jaejoong terbangun dari tidur panjangnya setelah hari menjelma siang. Kelopak mata yang melindungi sepasang bola mata besarnya terasa sukar untuk dibuka, akan tetapi remaja cantik itu tetap memutuskan untuk membuka matanya. Rasa ngilu mendera sekujur tubuhnya yang hanya ditutupi selembar sutera tipis yang tembus pandang. Jaejoong meringis ketika merasakan tulang-tulangnya seakan dilolosi dari persendiannya. Bagian bawah tubuh belakangnya juga terasa sangat sakit ketika ia mencoba untuk bangun dari posisi tidur telungkupnya. Rasa panas, pedih juga perih bergabung menjadi satu, menghadirkan denyutan-denyutan yang kembali membuat bibirnya meringis. Sambil menahan sakit, Jaejoong menapakkan kedua kakinya ke lantai, mencoba turun dari pembaringan untuk membersihkan sekujur tubuhnya yang terasa sangat lengket. Kain sutera berwarna kuning gading yang semula menyelimuti tidurnya kini dipakainya untuk membungkus tubuhnya, meski kain tembus pandang itu tak banyak membantu menyembunyikan lekuk tubuh indahnya. Dayang Kwan dan Dayang Choi yang sebelumnya duduk bersimpuh di tepi pembaringan menantikan majikan cantik mereka itu terbangun dari tidurnya bergegas bangkit dan memapah tubuh mungil itu ke pemandian.

Dengan wajah memerah menahan malu, Jaejoong yang masih lemas tak bertenaga setelah pada malam sebelumnya menghabiskan malam panas dengan sang suami, membiarkan kedua dayang kepercayaannya itu membantunya membersihkan diri. Kain sutera yang membungkus tubuhnya perlahan terlepas. Wajah Dayang Kwan dan Dayang Choi yang melihat dengan jelas jejak cinta yang ditinggalkan sang raja junjungan mereka di tubuh indah remaja cantik itu pun tak kalah memerah. Meski begitu, kedua dayang itu tidak mengeluarkan suara sepatah kata pun. Dengan gerakan lembut namun cekatan, mereka terus membantu remaja cantik itu membersihkan diri sekaligus memberikan pijatan-pijatan lembut di sekujur tubuh selir terkasih raja itu. Untuk beberapa saat, Jaejoong merendam diri di dalam air mandi yang sudah dicampur dengan beraneka bunga yang menghadirkan aroma menenangkan. Dan setelah selesai, kedua dayang berwajah cantik itu segera memakaikan jubah pada remaja cantik itu dan kembali memapah selir terkasih raja itu ke pembaringan yang keadaannya sudah kembali rapi. Dua orang dayang istana yang kedudukannya di bawah Dayang Kwan dan Dayang Choi telah merapikan kamar tidur Jaejoong sesuai perintah kedua dayang yang bertugas melayani Jaejoong selagi remaja cantik itu membersihkan diri. Bantal-bantal yang semula berserakan telah kembali ke posisinya semula, sedang alas pembaringan yang sebelumnya telah kusut masai dan menjadi saksi pelayaran cinta Jaejoong dan sang raja juga sudah ditukar dengan yang baru. Sebuah nampan berisi aneka makanan tampak diletakkan di atas meja di sisi pembaringan.

Setelah selesai berpakaian dan merapikan diri, Dayang Kwan menyerahkan nampan berisi makanan kepada remaja cantik itu. Jaejoong yang memang merasakan perutnya sudah menjerit minta diisi dengan lahap segera menghabiskan makan paginya yang sudah sangat terlambat itu sambil duduk menjuntaikan kakinya di sisi pembaringan. Setelah menghabiskan makanannya dan menyerahkan nampan yang isinya tak sedikit pun bersisa kepada Dayang Kwan, Jaejoong menyandarkan tubuhnya di kepala pembaringan, sambil menahan sakit pada tubuh bagian bawahnya yang kembali terasa berdenyut-denyut. Remaja cantik itu meringis-ringis sambil mencari posisi nyaman untuk duduknya.

"Selir Hwan, Putera Mahkota Changmin datang berkunjung. Beliau meminta ijin untuk masuk," lapor Dayang Choi yang berjalan dari arah pintu depan sambil mendekati remaja cantik itu. Begitu tiba di dekat Jaejoong, ia segera membungkukkan tubuhnya.

"Kalau begitu biarkan beliau masuk. Dan kalian berdua bisa meninggalkan ruangan ini. Joongie akan meminta salah seorang prajurit penjaga untuk memanggil kalian kalau urusan Putera Mahkota di sini sudah selesai," ucap Jaejoong dengan nada tetap lembut.

"Baik, Selir Hwan," jawab kedua dayang itu sambil membungkukkan tubuh dengan hormat. Mereka bergegas meninggalkan kediaman pribadi selir terkasih raja itu setelah terlebih dahulu mempersilakan masuk Putera Mahkota Changmin yang datang berkunjung sambil menenteng sekeranjang besar buah-buahan di tangan kanannya. Pengawal pribadinya dimintanya untuk tetap tinggal dan berjaga di depan pintu.

Putera Mahkota melangkah ringan memasuki kamar peristirahatan selir terkasih sang ayah yang sudah dianggapnya sebagai teman dekatnya itu.

"Sudah, tidak usah memaksakan diri untuk bangun kalau memang tidak bisa. Nanti tubuhmu malah akan semakin sakit," cegah sang putera mahkota dengan cepat ketika dilihatnya Jaejoong yang masih meringis menahan sakit hendak turun dari pembaringan untuk menyambutnya. Remaja berusia lima belas tahun yang mewarisi ketampanan sang ayah namun terlihat kekanakan itu meletakkan keranjang berisi aneka buah-buahan yang dibawanya di atas meja kecil di sisi pembaringan. Jaejoong yang kembali menyandarkan tubuhnya di kepala pembaringan mempersilakan Putera Mahkota Kerajaan Joseon itu untuk duduk di kursi yang berada tak jauh dari meja kecil itu. Sang putera mahkota duduk sambil menghadap Jaejoong.

"Sekujur tubuh Joongie jadi sakit begini juga karena ulah ayah Putera Mahkota sendiri," timpal Jaejoong, setengah mengadu, setengah mendengus. Ia kembali meringis ketika rasa perih itu datang dan membuat tubuh bagian bawahnya berdenyut tak karuan.

"Ha ha ha, apakah kau membutuhkan bantuanku untuk memperingatkan Ayahanda agar lain kali tak terlalu kasar saat 'bermain' denganmu?" tanya Putera Mahkota Changmin dengan nada jahil yang membuat Jaejoong mendelik tajam.

"Yaa[42]! Umur Putera Mahkota masih belum cukup untuk membicarakan hal setabu itu!" sergah Jaejoong dengan wajah memerah. Sepertinya remaja cantik itu melupakan kenyataan bahwa ia dan Putera Mahkota berusia sebaya. Seringai kecil terpasang di raut wajah putera tunggal sang raja penguasa Joseon itu.

"Apa kau lupa kalau usia kita hanya terpaut tiga bulan, Joongie-ya? Kalau menurutmu umurku belum cukup untuk membicarakan hal itu, lantas bagaimana denganmu? Kau bahkan sudah melakukan hal yang kau sebut tabu itu, padahal usiamu sama sepertiku," balas Putera Mahkota yang membuat Jaejoong kontan terdiam dan mati kutu. Rona merah kembali menjalar di wajahnya.

"Joongie tidak tahu apa yang akan rakyat katakan seandainya mereka tahu bahwa Putera Mahkota yang merupakan calon raja masa depan mereka adalah seseorang bermulut cabul!" kecam Jaejoong mengalihkan pembicaraan, membuat tawa sang putera mahkota semakin keras terdengar.

"Paling-paling mereka akan mengatakan bahwa buah memang jatuh tak jauh dari pohonnya. Ha ha ha…," kembali tawa meriah berderai dari mulut Putera Mahkota Changmin, membuat Jaejoong memutar matanya dengan malas.

"Aissshhh, sudahlah. Sekarang katakan pada Joongie, angin apa yang membuat Putera Mahkota mengunjungi Joongie?" tanya Jaejoong, tak ingin memperpanjang basa-basi. Putera Mahkota Changmin memiliki kegemaran yang hampir sama dengan Selir Suk, yakni sama-sama suka menggodanya hingga raut wajahnya memerah.

"Tentu saja karena aku ingin meminta pertanggungjawabanmu karena saat berada di istana bawah tanah kau sama sekali tidak menyapaku. Padahal katamu kita ini teman," sungut Putera Mahkota Changmin sambil memasang wajah serius. Akan tetapi, tangan kanannya terulur ke arah keranjang buah-buahan yang tadi dibawanya. Diambilnya setangkai anggur hijau segar, lalu mulai mempretelinya satu per satu dan memasukkannya ke dalam mulutnya.

"Oh, itu…. Tadinya Joongie berpikir untuk meminta maaf terlebih dahulu atas kejadian itu. Joongie juga sudah berencana untuk membuatkan makanan kesukaan Putera Mahkota sebagai tanda permintaan maaf Joongie. Tapi Joongie memutuskan untuk mengurungkan niat Joongie karena ucapan cabul Putera Mahkota tadi," tandas Jaejoong tanpa senyum, berbalik mempermainkan sang putera mahkota yang membelalakkan matanya. Buru-buru ditelannya anggur yang masih berada di dalam mulutnya.

"Kau tidak bisa melakukan itu padaku, Joongie-ya!" pekik Putera Mahkota yang langsung bangkit dari duduknya. Benaknya berputar dengan cepat untuk menemukan cara agar bisa membujuk selir terkasih ayahnya itu untuk tetap membuatkan makanan kesukaannya.

"Kenapa tidak?" Jaejoong memasang wajah polos. Sejujurnya remaja cantik itu ingin sekali tertawa terbahak-bahak melihat raut wajah panik sang putera mahkota.

"Oh ayolah, kau tahu benar kalau ucapanku tadi hanya bercanda. Aku hanya bermaksud menggodamu. Kau sendiri tidak benar-benar akan mengurungkan niatmu, kan?" desak Putera Mahkota Changmin dengan wajah terlihat memelas. Ia lantas berjalan mondar-mandir di depan Jaejoong sambil menyembunyikan kedua tangannya di belakang punggung, membuat remaja cantik itu jengah sendiri.

"Hemmm, akan Joongie pertimbangkan kembali. Asal…," dengan usil Jaejoong menggantung ucapan akhirnya. Sebelah alisnya terangkat, mempermainkan kesabaran remaja berwajah kekanakan di depannya.

"Asal apa?" sambar Putera Mahkota dengan cepat. Gerakan mondar-mandirnya seketika terhenti. Ia memandang Jaejoong dengan wajah diselimuti rasa penasaran yang amat sangat.

"Asal Putera Mahkota mengakui kalau Putera Mahkota memang cabul. Bagaimana?" sebuah seringai nakal tercetak di sudut bibir remaja cantik itu. Sakit di bagian bawah tubuhnya seakan mulai berkurang.

"Yaa! Kau sengaja menggodaku, eoh?" tanya Putera Mahkota yang tidak terima jika dirinya harus mengaku cabul. Terlebih selepas melihat seringai yang muncul di wajah cantik itu. Ia tahu benar kalau selir terkasih ayahnya itu hanya bermaksud membalasnya.

"Kalau tidak mau ya sudah! Padahal Joongie tadi sudah sempat berubah pikiran…,"

"Baiklah, baiklah. Kau menang. Aku memang cabul. Tapi meski begitu tetap saja aku ini tampan. Bahkan jauh lebih tampan darimu," balas sang putera mahkota. Ia terdiam sejurus kemudian, lalu menggelengkan kepalanya, menyangkal ucapannya sendiri. "Aniya[43]! Kau jelas-jelas bukan bandinganku dalam hal ketampanan, karena wajahmu itu tidak bisa dikatakan tampan, tapi cantik," sambung Putera Mahkota Changmin tak mau kalah.

"Apa maksud Putera Mahkota? Joongie ini namja, tentu saja Joongie ini tampan! Sangaaat tampaaan…," puji Jaejoong pada diri sendiri dengan kepercayaan diri berlebih. Putera Mahkota Changmin terbatuk kecil mendengar penyangkalan dari remaja cantik itu.

"Joongie, Joongie…. Di situlah letak benar dan salahmu. Kau dan kata tampan tidak cocok untuk diletakkan dalam satu kalimat. Benar kau namja, tapi wajahmu sangat jauh dari kata tampan. Kau itu cantik. Namja cantik!" jelas sang putera mahkota yang memang terkenal pandai bersilat lidah itu.

"Berhenti mengatai Joongie cantik!" tegas Jaejoong sambil mengerucutkan bibirnya. Putera Mahkota Kerajaan Joseon itu menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah polah remaja cantik itu. Kembali didudukkannya pantatnya di atas kursi, lalu meraih sebuah apel hijau dari dalam keranjang dan kembali memakannya.

"Aish, kenapa reaksimu begitu? Padahal kalau Ayahanda yang mengatakan kalau kau cantik, kau akan tersipu-sipu malu seperti seorang gadis desa yang dipuji oleh pemuda yang dicintainya. Lalu di pipimu akan menjalar rona merah, begitu juga di kedua telingamu. Kau akan menundukkan wajahmu untuk menyembunyikan rona merah itu. Lalu…, lalu…," Putera Mahkota Changmin memerhatikan wajah remaja cantik di depannya yang mulai salah tingkah.

"Sudah! Hentikan! Dan berhentilah memakan buah-buahan Joongie. Untuk apa Putera Mahkota membawa buah-buahan itu untuk Joongie kalau ternyata Putera Mahkota juga yang menghabiskannya?" sergah Jaejoong yang tak ingin sang putera mahkota yang bermulut tak kalah cerewet darinya itu melanjutkan perkataannya.

"Yah, kata siapa buah-buahan itu untukmu? Tentu saja untukku, sebagai bekal perjalanan mengunjungimu. Kalau kau mau, kau bisa memintanya padaku. Buah apa yang kau inginkan? Aku membawa semangka, kesemek, jeruk, pepaya, jambu, pisang, dan banyak lagi yang lainnya. Ah, ada salak juga. Kau mau?" Jaejoong ingin sekali membenturkan kepalanya ke sandaran tempat tidur mendengar jawaban sang putera mahkota yang kini terlihat seperti seorang penjaja buah keliling. Remaja berparas rupawan itu menghembuskan napas panjang melihat kelakuan sang calon raja masa depan Joseon itu.

"Kalau maksud kedatangan Putera Mahkota ke sini hanya untuk mengolok-olok Joongie, sebaiknya Putera Mahkota pulang saja. Joongie juga ingin melanjutkan istirahat Joongie," tutur Jaejoong dengan nada penuh kesungguhan.

"Kau mengusirku?"

"Tidak. Tapi kalau Putera Mahkota tak kunjung mengutarakan maksud kedatangan Putera Mahkota yang sebenarnya, jangan salahkan Joongie kalau Joongie benar-benar mengusir Putera Mahkota dari sini," ancam Jaejoong tanpa takut bahwa sosok yang diancamnya adalah seorang Putera Mahkota Kerajaan Joseon.

"Baiklah. Kau ini memang tidak gampang dibohongi ya? Sebenarnya kedatanganku ke sini ingin menunjukkan sesuatu padamu. Ini…," Putera Mahkota mengeluarkan sesuatu dari balik gonryongpo berwarna ungu yang dikenakannya. Sehelai kain hitam yang dijahit membentuk jubah yang tampak lusuh namun dalam keadaan terlipat rapi. Jaejoong mengernyitkan keningnya, tak mengerti maksud sang putera mahkota yang menunjukkan kain lusuh itu padanya.

"Apa itu?" tanya remaja cantik itu separuh minat.

"Ini adalah jubah sakti yang katanya dulu pernah digunakan oleh Laksmana Yi Sun-sin dalam menumpas gerombolan perompak laut Jepang. Jubah ini membuat Laksmana Yi Sun-sin jadi menghilang dari pandangan orang lain sehingga dengan mudah merangsek ke arah pasukan musuh dan menumpas mereka," jelas Putera Mahkota Changmin sambil tersenyum lebar dan membentangkan jubah hitam lusuh yang disebutnya sakti itu. Jaejoong tertawa kecil mendengar penjelasan itu lalu menatap jubah lusuh di tangan sang putera mahkota yang menurutnya lebih mirip kain yang digunakan di dapur istana itu dengan tatapan meremehkan.

"Dari mana Putera Mahkota mendapatkan jubah itu?" selidik Jaejoong lagi.

"Aku menemukannya di lemari penyimpanan benda-benda bersejarah bagi Kerajaan Joseon yang terdapat di istana bawah tanah saat mengungsi beberapa waktu yang lalu. Menurut keterangan yang tertulis di sana…,"

"Tunggu!" Jaejoong memotong penjelasan sang putera mahkota yang menurutnya tidak penting itu. "Menemukan?" lanjutnya dengan nada tak percaya yang begitu kelihatan.

"Waeyo[44]? Kau tidak percaya kalau aku menemukan jubah ini?"

"Tentu saja tidak. Joongie cukup mengenal siapa Putera Mahkota. Dan Joongie yakin kalau yang Putera Mahkota maksudkan dengan menemukan itu adalah mengambil tanpa ijin jubah yang katanya sakti itu dari dalam lemari penyimpanan, bukan?" terka Jaejoong sambil mencibir. Putera Mahkota Changmin yang tak menyangka kalau Jaejoong mampu menebak dengan benar itu hanya cengar-cengir sambil menggaruk keningnya yang tidak gatal.

"He he he, ketahuan. Jadi, bagaimana?" tanya Putera Mahkota Changmin yang sedikit salah tingkah sambil menggerak-gerakkan alisnya.

"Apanya yang bagaimana?"

"Kau mau tidak kuperlihatkan kehebatan jubah ini?

"Memangnya benar-benar sakti? Kenapa di mata Joongie jubahnya lebih mirip seperti kain yang biasanya digunakan di dapur?" tanya Jaejoong yang meragukan kebenaran ucapan sang putera mahkota.

"Yaa! Tarik kembali ucapanmu! Kau jangan meremehkan kemampuan jubah ini hanya karena bentuknya terlihat seperti kain rombeng. Akan kutunjukkan padamu bagaimana saktinya jubah ini. Menurut keterangan yang tertulis di bagian bawah lemari penyimpanan, apabila jubah ini dipasangkan ke seluruh tubuh, maka sosok yang memakainya akan menghilang dari pandangan," jelas sang putera mahkota sambil memasangkan jubah itu ke tubuhnya. "Nah, sekarang aku sudah memakai jubah ini menutupi sekujur tubuhku. Kau sekarang tidak bisa lagi melihatku, kan?" tanya Putera Mahkota Changmin dengan memasang wajah penuh senyum kemenangan sambil mengencangkan ikatan jubah itu di lehernya.

Jaejoong membelalakkan matanya yang bulat. Posisi duduknya yang agak santai perlahan ditegakkan. Sementara sang putera mahkota yang menyangka bahwa reaksi terkejut yang ditunjukkan oleh selir terkasih ayahnya itu disebabkan karena ia yang telah berhasil menghilang dari pandangan remaja cantik itu tampak bangkit dari duduknya. Ia berdiri tepat di depan Jaejoong lalu mulai menggerak-gerakkan jari telunjuknya di depan batang hidung remaja cantik itu.

"Aku tahu kalau pada akhirnya kau akan mengakui kehebatan jubah ini, Joongie-ya. Tapi jangan terlalu lebar membuka mulutmu, nanti ada lalat yang masuk dan membuat sarang di sana. Ha ha ha…," ejek sang putera mahkota, membuat Jaejoong mendengus sebal.

"Sekarang coba tebak, aku ada di mana, Joongie-ya?" tanya Putera Mahkota Changmin seakan hendak menguji kehebatan jubah yang sedang dikenakannya. Ia melakukan gerakan berpindah dengan cepat sambil menjinjit kakinya, berusaha untuk tidak menimbulkan suara.

"Putera Mahkota ada di samping kanan Joongie," jawab Jaejoong yang sebenarnya masih bisa dengan jelas melihat wujud sang putera mahkota di depannya. Sejak tadi, Putera Mahkota Kerajaan Joseon yang memakai jubah hitam yang membungkus tubuh tingginya dari leher hingga mata kaki itu sama sekali tidak menghilang dari pandangannya.

"Ah, pasti cuma kebetulan," gumam sang putera mahkota dengan nada pelan setelah Jaejoong dengan tepat mampu menebak keberadaannya.

"Aku yakin sekarang kau tidak bisa menebak dimana aku, Joongie-ya," ujar sang putera mahkota yang bergerak cepat ke arah jendela yang terbuka lebar, memanjakan pandangan dengan jajaran pepohonan maple berdaun warna-warni.

"Putera Mahkota sedang berdiri di samping jendela yang ada di depan Joongie," sahut Jaejoong dengan nada riang. Putera Mahkota Changmin mengerutkan keningnya.

Ah, tertebak lagi. Jangan-jangan aku tadi terlalu berisik saat melangkah, batin sang putera mahkota ketika untuk kedua kalinya remaja cantik yang merupakan selir terkasih ayahnya itu mampu menebak keberadaannya dengan benar.

"Sekarang di mana aku?" tanya putera tunggal sang raja itu kembali ingin memastikan. Ia bergerak dengan cepat berpindah ke ujung pembaringan Jaejoong.

"Putera Mahkota sedang berdiri di ujung pembaringan Joongie," jawab Jaejoong dengan senyum jahil terukir di bibirnya tanpa di sadari oleh sang putera mahkota yang kembali tertegun karena remaja cantik itu lagi-lagi mampu menebak dengan benar. Ia lalu kembali berpindah tempat, bahkan berjalan sambil memperagakan gerakan seekor monyet yang sedang menggaruk pantatnya saat melintas di depan remaja cantik yang mati-matian berusaha menahan tawanya sambil menutup mulut dengan punggung tangannya itu. Bahkan dengan sangat keterlaluan, sang putera mahkota menjulur-julurkan lidahnya ke arah remaja berparas rupawan itu, sambil sesekali bertanya, 'di mana aku?', 'di mana aku?' pada namja cantik itu.

Ini sudah tidak lucu lagi, pikir Jaejoong. Lalu tanpa aba-aba….

Bruuukkk!

"Yaa! Kenapa kau melempar wajahku dengan bantal?" protes sang calon pewaris tahta Kerajaan Joseon itu sambil mengusap-usap keningnya. Dilemparnya tatapan marah pada remaja cantik sang pelaku pelemparan bantal yang balas menatapnya tanpa raut penyesalan.

"Joongie sengaja melakukannya untuk menyadarkan Putera Mahkota bahwa sebenarnya sejak tadi Putera Mahkota sama sekali tidak menghilang dari pandangan Joongie. Joongie bisa melihat dengan jelas semua gerakan yang Putera Mahkota lakukan, termasuk gerakan seekor monyet yang sedang menggaruk pantat sambil menjulurkan lidah itu. Kalau tidak Joongie lempar, memangnya Putera Mahkota akan sadar sendiri kalau jubah yang katanya sakti itu sama sekali tidak mampu membuat Putera Mahkota menghilang dari pandangan?" jelas Jaejoong sambil bersidekap.

"Jeongmal[45]? Ja-jadi…, aku sama sekali tidak menghilang dari pandanganmu sejak tadi?" tanya Putera Mahkota Changmin, ingin memastikan. Jaejoong menganggukkan kepalanya. Wajah tampan namun kekanakan sang putera mahkota tampak memerah. Menahan kesal dan malu sekaligus. Dengan cepat dilepaskannya jubah itu dari tubuhnya, lalu dengan kekesalan yang memuncak dibantingnya jubah lusuh itu di ujung kakinya. Putera Mahkota Kerajaan Joseon itu bahkan langsung menginjak-injak jubah lusuh yang sudah susah payah diambilnya tanpa ijin dari ruang penyimpanan di istana bawah tanah itu. Jaejoong yang menyaksikan ulah sang putera mahkota itu tak kuasa lagi menahan tawanya. Remaja cantik itu terpingkal-pingkal menyaksikan raut wajah sang putera mahkota yang kini sudah merah padam.

"Hei! Ootgejima[46]! Berhentilah menertawakanku!" sentak Putera Mahkota Changmin yang melihat sang selir terkasih ayahnya itu tak kunjung menghentikan tawanya. "Sial! Bagaimana bisa benda tak berguna seperti ini disimpan dalam ruang penyimpanan benda-benda bersejarah bagi kerajaan? Dan betapa bodohnya aku yang sudah begitu saja percaya akan kesaktian kain rombeng terkutuk ini," gerutu sang putera mahkota, memaki panjang pendek, melampiaskan kekesalan hatinya.

"Ha ha ha, lagi pula, kenapa Putera Mahkota begitu saja percaya kalau jubah lusuh itu adalah jubah sakti? Seharusnya Putera Mahkota tidak meninggalkan kelas saat pelajaran Sejarah dan memilih menyusup ke Dapur Istana hingga tidak mudah termakan tipuan. Yang membuat Laksmana Yi Sun-sin seakan menghilang dari pandangan ketika perang menumpas gerombolan perompak laut Jepang bukanlah sebuah jubah, melainkan sebuah tarian perang," jelas Jaejoong sambil masih mengumbar tawanya. Bahunya terguncang-guncang menahan amukan tawa.

"Sebuah tarian perang?" tanya Putera Mahkota Changmin dengan nada tak percaya.

"Ne. Dalam Perang Tujuh Tahun yang berlangsung saat itu, armada laut kita semakin lama semakin berkurang jumlahnya. Karena itulah Laksmana Yi Sun-sin meminta sekitar lima puluh orang dayang istana yang dipakaikan pakaian perang untuk menari di atas sebuah bukit, menghadap tepat ke arah kapal-kapal perompak. Tarian itu berupa gerakan berputar yang dilakukan para dayang sambil berpegangan tangan satu sama lain, yang semakin lama semakin cepat hingga yang tampak oleh pihak musuh seakan-akan pihak Joseon memiliki jumlah pasukan yang sangat banyak. Awalnya Laksmana Yi Sun-sin berdiri di tengah-tengah para penari itu, namun seiring cepatnya gerakan tari itu, maka sang laksmana seolah menghilang dari pandangan. Pihak musuh yang terpaku dengan para penari di atas bukit tidak menyadari ketika akhirnya armada laut kita merangsek maju dan menumpas mereka yang saat itu sedang lengah, " papar Jaejoong yang sudah berhasil mengendalikan tawanya. Sang Putera Mahkota Kerajaan Joseon itu memandangi Jaejoong dengan mulut ternganga, seakan tidak memercayai pendengarannya.

"Benarkah?" Jaejoong menganggukkan kepalanya. Putera Mahkota Changmin menghembuskan napas panjang dan menggeleng-gelengkan kepala. Ia lalu tertawa kecil seakan menertawakan kebodohannya. Tangannya kembali terulur ke arah keranjang buah-buahan yang tadi dibawanya. Diambilnya setangkai anggur merah dan langsung memasukkannya ke dalam mulutnya. Sepertinya gerakan berpindah-pindah tempat yang ia lakukan untuk menguji kesaktian jubah lusuh itu membuat perutnya lapar.

"Ada baiknya Putera Mahkota segera mengembalikan jubah itu ke tempat asalnya," saran Jaejoong, kembali menyamankan dirinya di kepala tempat tidur. Sang putera mahkota terlihat menganggukkan kepalanya disela-sela kunyahannya.

"Kurasa kau benar. Nanti aku akan mengutus pengawal kepercayaanku untuk mengembalikan jubah ini ke tempat penyimpannya. Seandainya pun jubah ini memang benar jubah sakti, mungkin ia tidak mau memperlihatkan kesaktiannya kepadaku karena aku yang telah mengambilnya dengan cara tidak semestinya," ujar putera tunggal sang raja Joseon itu. Jaejoong kembali terkikik mendengar ucapan sang putera mahkota. Sambil sedikit meringis, ia menurunkan sepasang kakinya menjejak lantai, lalu melangkah turun dari pembaringan. Dihampirinya jubah lusuh yang sempat diinjak-injak oleh teman dekatnya itu. Dikibas-kibasnya jubah itu, lalu melipatnya seperti semula, sebelum menyerahkannya pada sang putera mahkota yang tampak malas-malasan menerimanya, dan kembali menyimpannya di balik pakaiannya. Sepertinya sang calon pewaris tahta Kerajaan Joseon itu masih sangat kesal dengan jubah hitam lusuh yang menurutnya sudah mempermalukannya di depan selir terkasih ayahnya itu.




            ~TBC~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar