Rabu, 15 April 2015

The Great Revenge chap 5A

The Great Revenge

by

Puan Hujan

Chapter 5

Hari terus merangkak, sehingga petang akhirnya menjelang. Cahaya matahari yang mulai meredup membiaskan warna kuning kemerahan di kaki langit yang kemudian memantul di antara pucuk-pucuk pepohonan pinus. Kepak sayap burung-burung bangau yang terbang berkelompok berlatarkan arak-arakan awan putih, membentuk suatu rangkaian indah dalam perjalanan pulang menuju sarang. Sementara itu, angin penghujung musim semi berhembus perlahan, menerbangkan kelopak-kelopak aneka bunga yang telah terlepas dari tangkainya dan berserakan di atas permukaan tanah, menebarkan sisa-sisa keharuman ke setiap sudut semesta. Sungguh suatu petang yang sangat indah.

Namun, suasana petang yang indah itu justru terusik oleh langkah-langkah kaki yang melangkah cepat, seolah berpacu dengan waktu. Dua orang lelaki berwajah dingin dalam balutan seragam prajurit Kerajaan Joseon terlihat berjalan dengan langkah-langkah lebar sambil mengapit seorang wanita yang bagian kepalanya ditutupi selubung kain hitam. Kedua tangan wanita itu terikat ke belakang oleh sebuah tambang, yang kemudian dililitkan menyatu dengan leher. Keadaan wanita itu cukup memprihatinkan. Dia berjalan dengan kaki terseret, dan beberapa kali hampir jatuh, kalau tidak segera disangga salah satu lelaki berwajah dingin yang mengapitnya saat berusaha mengimbangi langkah-langkah lebar kedua lelaki tersebut.

Dari pakaian yang dikenakannya, bisa dipastikan kalau wanita yang berada dalam keadaan terikat sebuah tambang yang cukup berat itu adalah salah satu dayang istana. Dengan tergesa, kedua lelaki berseragam prajurit dengan segaris kumis tipis melintang di atas bibir itu menuruni anak-anak tangga batu menuju ruang bawah tanah di kediaman khusus Perdana Menteri Go yang letaknya terpisah dari Istana Changdeok, tanpa sedikit pun memedulikan wanita yang terlihat meronta-ronta hendak melepaskan diri itu.

Dua lelaki berpakaian prajurit itu lalu dengan kasar mendorong tubuh sang dayang ke tengah ruangan, setelah sampai di ruang bawah tanah yang begitu pengap dan lembab. Aroma darah kering dan daging yang membusuk tercium dengan jelas dari ruangan yang hanya diterangi oleh nyala dua buah lentera kecil yang tergantung di kiri dan kanan ruangan, hingga tak urung membuat perut bergejolak. Ruangan bawah tanah yang tidak pernah mendapatkan sentuhan sinar matahari itu membuat sebagian besar dindingnya yang terbuat dari batu sungai ditutupi oleh lumut liar yang tumbuh dengan subur.

Tubuh sang dayang yang didorong dengan kasar itu akhirnya jatuh tersungkur di kaki seseorang yang berdiri angkuh dalam balutan sebuah jubah indah berwarna merah menyala dari bahan sutera halus yang tak lain adalah Perdana Menteri Go. Lelaki separuh baya yang selalu berpembawaan tenang itu sedikit membungkukkan tubuhnya, lalu meraih kedua pundak sang dayang. Dengan gerakan lembut, diajaknya dayang istana yang sekujur tubuhnya terikat sebuah tambang itu berdiri. Ia lalu melepaskan selubung kain hitam yang menutupi kepala dayang tersebut. Sang dayang yang telah terlepas dari selubung yang menutupi kepalanya, membuka kedua kelopak matanya. Ia mengerjapkan sepasang matanya yang indah, mencoba menyesuaikan diri dengan keadaan ruangan yang memiliki penerangan seadanya itu. Ia juga menggerak-gerakkan lehernya, mengusir rasa pegal yang menghinggapinya.

Yang pertama dilihat oleh dayang istana yang ternyata masih berusia muda dan memiliki paras yang cukup cantik itu adalah Perdana Menteri Go yang berdiri tepat di hadapannya, dengan kedua tangan bersilang di belakang punggung. Sebuah senyum tipis terlukis di bibir tua sang perdana menteri. Dayang muda itu lalu mengalihkan pandangannya, merayapi keadaan seluruh ruangan yang sangat asing baginya itu. Ia menyipitkan matanya ketika tatapannya jatuh pada ketiga orang lelaki bertelanjang dada yang tampak terikat di dinding berlumut di sebelah kanan ruangan pengap itu, tak jauh dari tempatnya berdiri. Kedua kaki dan tangan mereka diikat oleh rantai besi yang tertanam di dinding. Tak ada tanda-tanda yang menunjukkan adanya denyut kehidupan dari ketiga lelaki yang sepertinya berusia di akhir tiga puluh itu. Di sekujur tubuh mereka terlukis garis merah memanjang yang merupakan luka bekas cambukan lidah cemeti. Darah kering menutupi seluruh tubuh mereka yang lebam membiru dan sedikit membengkak. Dari tempatnya berdiri, dayang muda itu dengan jelas melihat kalau sudut bibir dan pelipis ketiga lelaki yang tidak bergerak itu dalam keadaan sobek.

Dayang muda berparas cukup cantik itu bergidik ngeri begitu menyadari bahwa dirinya tengah berada di sebuah ruang penyiksaan bawah tanah. Seluruh tubuhnya yang terikat sebuah tambang tampak menggeletar. Di dinding batu berlumut di sebelah kirinya, bergayut rantai-rantai besi yang dikotori oleh darah kering dan sisa-sisa daging manusia yang menjadi sumber aroma tak sedap yang menyeruak hidung saat pertama kalinya ia menjejakkan kaki ke tempat itu. Sementara itu, di salah satu sudut ruangan, tampak sebuah lubang besar menganga dengan sebuah tiang berbentuk palang pintu di atasnya. Seuntai tambang tampak menjuntai di palang tiang, dan berakhir di leher seorang lelaki yang mengenakan seragam prajurit Kerajaan Joseon. Sulit untuk mengenali wajahnya karena posisi kepalanya yang menunduk hingga membuat rambutnya yang awut-awutan menutupi hampir seluruh permukaan wajahnya.

Dayang istana muda itu menutup kembali sepasang matanya rapat-rapat, tak kuasa berlama-lama memandangi sosok lelaki yang tergantung di palang itu, dengan ratusan ular berbisa dari segala jenis yang berdesis mengerikan menjulur-julurkan kepala dari dalam lubang besar yang menganga di salah satu sudut ruangan itu. Akan tetapi, seolah seseorang yang disadarkan dari mimpi buruk yang paling menakutkan, dayang muda itu secepat kilat kembali membuka matanya. Diperhatikannya baik-baik lelaki berseragam prajurit yang berada dalam keadaan tergantung itu. Seuntai kalung dari akar kayu hitam dengan kuku harimau jantan sebagai buah kalung tampak tersembul di antara pakaian lelaki itu yang sudah tidak beraturan lagi bentuknya.

"Abeoji!" seru sang dayang muda ketika menyadari bahwa lelaki yang tergantung itu adalah ayahnya sendiri. Kedua mata dayang muda itu terbeliak lebar. Sosok sang ayah tampak menunjukkan sedikit gerakan ketika mendengar suara sang anak yang menandakan bahwa lelaki yang berada dalam keadaan tergantung itu masih hidup.

"Kau butuh waktu yang sangat lama rupanya untuk mengenali ayahmu sendiri," sela sang perdana menteri dengan nada tenang, namun mengejek. Sebuah senyuman lagi-lagi tersungging di bibirnya. Senyuman yang tak ubah seperti seringai iblis bagi dayang muda itu. "Aku heran, bagaimana caranya kau bisa lulus menjadi dayang istana dengan kinerjamu yang teramat buruk itu."

"Tuan Perdana Menteri, lepaskan ayah saya. Saya yang salah karena gagal melaksanakan perintah Yang Mulia Permaisuri, jadi hukumlah saya saja. Tolong lepaskan ayah saya, Tuan. Saya mohon…," rintih dayang muda itu sambil menjatuhkan diri di kaki Perdana Menteri Go.

"Dayang tidak berguna!" umpat sang perdana menteri dengan kemurkaan yang terlihat jelas. Ekspresi wajahnya yang selalu terlihat tenang mendadak berubah. Senyuman yang menghiasi bibirnya lenyap seketika. Sorot matanya yang teduh berubah tajam, dan rahangnya terlihat mengeras. Wajahnya memerah tak ubah besi di atas tungku. Dengan tangan kanannya, dicengkeramnya rambut dayang muda itu hingga sang dayang mendongak sambil meringis, menghadap persis ke wajah Perdana Menteri Go. Raut kesakitan jelas terpampang dari paras dayang muda itu.

"Kau bahkan masih memiliki kesempatan kedua untuk menuangkan setetes racun dari getah akar pala ketika usaha pertamamu tidak berhasil. Bukankah kau termasuk salah satu dayang yang ditunjuk oleh Dayang Istana Han untuk membawakan hidangan yang telah dibuat oleh Pemusik Kim ke ruang makan kerajaan? Tapi kenapa kesempatan yang sangat bagus di depan mata itu kau lewatkan begitu saja?" cecar Perdana Menteri Go penuh penekanan tanpa mampu menyembunyikan kemarahannya. Cengkeramannya di rambut dayang muda itu semakin kuat. "Apa kau berpikir bahwa Permaisuri hanya bermain-main dengan ucapannya hingga kau menyepelekan ancamannya? Dengar, gadis bodoh! Tidak ada yang namanya ucapan main-main dalam keluarga Go. Dan jika Permaisuri sudah mengatakan bahwa kegagalanmu hanya bisa ditebus dengan nyawa busuk ayahmu, maka itulah yang akan terjadi!" dengus sang perdana menteri sambil melepaskan cengkeramannya di rambut dayang muda itu dengan kasar.

"Tuan Perdana Menteri, beri saya kesempatan sekali lagi. Saya pasti akan melakukan perintah Yang Mulia Permaisuri dengan benar. Saya mohon, Tuan, berikan saya kesempatan sekali lagi. Saya pasti tidak akan gagal," dayang muda itu kembali mencoba untuk melunakkan hati sang perdana menteri. Suaranya terdengar bergetar menahan isakan. Kepalanya terlihat merunduk hingga nyaris mencium kaki sang perdana menteri.

"Sayangnya derajatmu terlalu rendah untuk melakukan tawar-menawar denganku, gadis bodoh!" balas Perdana Menteri Go dengan nada yang begitu dingin. Senyuman sinis tersungging di bibirnya. Tubuh dayang muda yang berada dalam keadaan terikat itu menegang. Ia mengangkat kepalanya. Sirat kemarahan dan kebencian menguar dari sepasang matanya yang akhirnya melahirkan anak-anak hujan.

"Tuan Perdana Menteri, apakah kekuasaan membuat Anda benar-benar telah kehilangan hati nurani sebagai seorang manusia, sehingga Anda tidak akan pernah berpikir dua kali untuk melenyapkan nyawa seseorang?" tanya dayang muda itu dengan nada pelan menusuk setelah beberapa saat terdiam, seolah sedang memikirkan kata-kata yang harus ia pilih untuk dilontarkan. "Kekejaman Anda selangit tembus, Tuan. Tidakkah Anda takut apabila suatu hari kejahatan yang Anda lakukan akan terungkap dan Anda beserta keluarga Anda akan merasakan pembalasan yang jauh lebih menyakitkan dari apa yang pernah kalian lakukan? Ingat kata-kata saya hari ini, Tuan. Cepat atau lambat aroma busuk dari segunung kejahatan Anda pasti akan tercium. Dan jika saat itu tiba, bahkan di alam kematian pun saya akan tersenyum bahagia atas kehancuran yang menimpa Anda," sambung dayang muda itu dengan airmata yang masih setia mengalir menuruni kedua belah pipinya yang kemerahan.

"Hahaha…!" Perdana Menteri Go justru tergelak mendengar ucapan dayang muda itu, seolah baru saja mendengar sebuah lelucon yang sangat menggelitik perut. Sebuah senyuman mengejek kembali tersungging di bibirnya. "Kau lupa dengan siapa kau berhadapan saat ini, hemmm? Apa perlu kuingatkan kembali bahwa aku adalah ayah dari Yang Mulia Permaisuri yang merupakan istri sah rajamu?" tanya Perdana Menteri Go dengan nada mulai melembut, namun terkesan meremehkan.

"Tidak, saya sama sekali tidak lupa. Saya hanya menyayangkan seorang raja yang agung seperti Yang Mulia Raja harus memiliki mertua berhati iblis seperti Anda, Tuan Perdana Menteri," jawab dayang muda itu tanpa rasa takut, membuat Perdana Menteri Go mendengus kesal.

"Gadis keparat…!"

Sang perdana menteri kemudian membalikkan tubuhnya dan memerintahkan salah satu dari lelaki berwajah bengis yang masih setia berdiri di tepi pintu untuk maju ke depan.

"Tarik tuasnya!" perintah Perdana Menteri Go dengan berang. Lelaki berwajah bengis itu mengangguk patuh. Dengan ayunan kaki mantap, lelaki berusia sekitar tiga puluh lima tahun itu melangkah menghampiri lelaki yang berada dalam keadaan tergantung itu. Tanpa banyak bicara, ditariknya tuas yang terletak di salah satu sudut ruangan hingga tambang yang melilit di kepala prajurit malang yang merupakan ayah dari sang dayang kian masuk ke dalam lubang. Ular-ular berbisa yang sejak tadi menjulur-julurkan kepala mereka segera berlomba merobek daging pria malang itu.

Crash! Crash!

"Aaakkkhhh…!" lolongan panjang terlontar dari mulut prajurit malang berusia setengah baya itu ketika gigi-gigi tajam ular-ular berbisa itu berebut menancap di kulitnya. Beberapa kali lelaki itu menjerit kesakitan sambil menggeliatkan tubuhnya, berusaha menghindari patukan ular-ular berbisa itu. Seragam prajurit yang dikenakannya koyak berlumur darah dengan kulit tubuh dan sebagian daging yang juga ikut terkoyak. Hanya sekejap lolongan dan pekikan kesakitan itu terdengar, berganti dengan desisan ratusan binatang melata yang seolah sedang berpesta menyantap hidangan berupa daging manusia. Dalam waktu sebentar saja, sebagian daging prajurit malang itu dari pinggang ke bawah telah habis disantap oleh ular-ular berbisa itu, menyisakan tulang-tulang yang masih berlumur darah.

"Abeojiii…! Tidaaakkk! Hentikan! Kumohon hentikaaannn…. Abeojiii…!"

Dayang muda itu jatuh tersuruk dalam keadaan tidak sadarkan diri ketika dengan mata kepalanya sendiri ia menyaksikan sang ayah menjadi santapan ular-ular berbisa yang kelaparan itu. Jejak-jejak airmata tercetak jelas di wajahnya. Sang perdana menteri lalu menghampiri dayang muda yang pingsan itu, dan duduk berjongkok di sisinya. Dengan tangan kanannya, dicengkeramnya rahang dayang muda itu sehingga mulutnya terbuka. Sementara tangan kirinya mengeluarkan satu bulatan kecil berwarna kuning pekat dari balik jubahnya. Dimasukkannya bulatan berwarna kuning pekat itu ke dalam mulut dayang muda yang masih dalam keadaan tidak sadarkan diri itu. Tangan kanannya kemudian menutup rapat mulut sang dayang.

Hanya sebentar dayang muda itu menggeliat dengan mata mendelik tak ubah seseorang yang sedang tercekik. Tak lama, dayang muda itu diam tak bergerak-gerak lagi. Dari seluruh lubang di tubuhnya, keluar cairan pekat berwarna merah kehijauan yang menandakan bahwa seluruh pembuluh darah di dalam tubuh dayang muda itu telah pecah. Racun Kalajengking Ekor Kuning sekali lagi merenggut mangsanya. Racun yang tingkat keganasannya hanya setingkat di bawah Getah Salju Tiongkok itu merenggut nyawa seorang dayang muda yang malang hanya dalam waktu yang sangat singkat.

"Buang tubuh dayang tak berguna ini ke dalam jurang! Lakukan pekerjaan kalian serapi mungkin dan jangan meninggalkan jejak sedikit pun! Kalau tidak, kalian juga bisa bernasib sama dengan dayang keparat itu" perintah Perdana Menteri Go disertai ancaman sambil berdiri dan mengibaskan jubah indahnya. Ia kemudian melangkahkan kakinya meninggalkan ruang bawah tanah itu dengan langkah-langkah lebar. Kedua lelaki bertampang bengis itu menganggukkan kepalanya, lalu segera membopong tubuh dayang malang yang bersimbah darah itu meninggalkan ruangan. Menyisakan tiga tubuh tanpa nyawa yang berada dalam keadaan terikat di dinding berlumut, serta satu tubuh yang hanya tersisa separuh yang tergantung di ujung tambang.

ooo 000 ooo

Sementara itu, di tepi sebuah sungai kecil berair jernih yang terletak di tengah-tengah Taman Rahasia, Jaejoong yang terlihat sangat cantik dalam balutan dangui berwarna ungu muda dipadukan dengan seuran chima berpola bunga-bunga berwarna senada namun lebih gelap tampak tengah duduk menjuntaikan kakinya di atas sebongkah batu sungai berukuran sebesar kerbau. Batu yang didudukinya menjorok masuk ke sungai, sehingga sebagian kakinya terendam di dalam air jernih yang mengalir tenang. Tak jauh dari tempatnya mendudukkan diri, berdiri tegak sebatang pohon yang tidak terlalu tinggi namun memiliki dahan yang sangat banyak serta daun yang begitu rimbun. Beberapa jenis anggrek hutan berbunga merah muda dan kuning tampak subur menumpang hidup di salah satu bagian batang pohon yang lebarnya kira-kira dua pelukan orang dewasa itu. Sementara di salah satu bagian batang pohon yang tidak terkena sinar matahari juga ditumbuhi sejenis tanaman lumut dan beberapa jenis jamur. Sulur-sulur dari tanaman rambat bergayut di antara dahan-dahan pohon.

Jaejoong duduk dengan tangan kanan menggenggam seutas tali yang mengikat mata kail dari patahan ranting yang telah diberi umpan. Air sungai yang mengalir lembut memantulkan pernik-pernik sinar matahari petang. Sungai kecil itu sedemikian jernih, hingga hilir mudik ikan-ikan beraneka ukuran yang berenang di dalamnya terlihat jelas. Demikian juga dengan batu-batu sungai yang banyak terdapat di dasar sungai serta tumbuhan air yang hidup di dalamnya, sangat jelas terlihat oleh indera penglihatan. Di sekitar batu-batu besar yang banyak terdapat di sekitarnya, tumbuh dengan subur tanaman keladi dan beberapa rumpun bambu hias yang ditata sedemikian rupa. Sekitar lima langkah ke kiri, sehamparan ilalang berbunga putih menyerupai kapas tumbuh subur dengan tangkai bunga yang bergoyang dipermainkan angin petang. Dan beberapa depa dari tempat Jaejoong duduk, hutan pinus yang lebat mengelilingi sungai kecil di dalam taman buatan itu.

Pandangan mata selir termuda Kerajaan Joseon itu sejak tadi tidak lepas dari seutas tali yang mengambang di permukaan air yang ditutupi oleh beberapa bunga teratai berdaun lebar. Sebuah senyuman manis melengkung di sudut bibir merahnya ketika merasakan ujung tali yang berada dalam genggamannya bergetar, menandakan bahwa umpannya telah dimakan oleh ikan untuk kesekian kalinya. Dengan cepat diangkatnya seutas tali yang sejak tadi digenggamnya. Seekor ikan berukuran sebesar telapak tangan menggelepar di ujung talinya.

"Joongie dapat lagi!" serunya girang sambil melepaskan ikan itu dari mata kailnya, lalu memasukkannya ke dalam sebuah wadah dari anyaman bambu yang nyaris terisi penuh dengan ikan hasil pancingannya. Ia kemudian mengalihkan pandangannya ke sebelah kanan tubuhnya yang berjarak hanya sekitar empat langkah. Tampak Selir Suk yang juga tak kalah cantik dalam balutan dangui dan seuran chima berwarna kuning gading berpola emas sedang duduk di atas akar sebuah pohon yang menyembul di atas permukaan tanah. Pohon yang cukup tinggi dengan sebagian besar dahannya condong ke arah sungai, sehingga membuat kerimbunan daunnya mampu meneduhkan siapa saja yang duduk di bawahnya. Seutas tali kecil juga tergenggam di tangan Selir Suk yang tak lepas memandangi permukaan air yang jernih di hadapannya.

"Eomma, sudah berapa banyak ikan yang Eomma dapatkan?" tegur Jaejoong dengan lembut sambil memberikan senyuman manisnya. Ia lalu sedikit memiringkan wadah dari anyaman bambu miliknya, memamerkan hasil pancingannya. Selir Suk yang dipanggil Eomma oleh Jaejoong menoleh dan langsung cemberut begitu melirik ke dalam wadah milik Jaejoong. Dalam hatinya, salah satu selir Raja Joseon itu mengakui kalah pintar dengan Jaejoong yang dalam waktu bersamaan bisa mendapatkan ikan yang lebih banyak dari yang didapatnya.

"Mana hasil tangkapan Eomma?" tanya Jaejoong lagi dengan nada menggoda. Ia lalu memasukkan sebelah kakinya ke dalam sungai, mempermainkan seekor katak hijau yang sedang duduk di atas bunga teratai berdaun selebar tampah yang tengah mengambang di permukaan air sungai.

"Itu…!" sahut Selir Suk sambil menunjuk dengan bibirnya. Dimiringkannya wadah dari anyaman bambu miliknya yang hanya berisikan dua ekor ikan berukuran dua helai jari. Jaejoong tertawa terpingkal-pingkal ketika melihat hasil tangkapan Selir Suk, sedang wanita yang dipanggilnya Eomma itu hanya menggerutu kecil.

"Dasar nakal! Bukankah sudah Eomma katakan kalau Eomma tidak bisa memancing? Tapi masih juga diajak. Lagipula, sepertinya ikan-ikan besar di sini sengaja bersekutu menjauhiku. Bagaimana tidak, jelas-jelas aku melihat ikan-ikan besar itu hilir-mudik di bawah bunga-bunga teratai yang mengambang tepat di ujung kakiku, tapi mereka sama sekali tidak menyentuh umpanku dan malah berlalu ke arahmu. Sepertinya mereka hanya tertarik pada yang berusia muda saja," sungut Selir Suk sambil bercanda. Jaejoong yang mendengarnya kembali tertawa terpingkal-pingkal sambil memegangi perutnya. Suara tawanya yang renyah mengalun indah, menelusup terbawa angin di antara pepohonan, bebatuan dan rerumputan.

"Hahaha, yang Eomma maksud itu sebenarnya ikan-ikan itu atau Yang Mulia Raja?" goda Jaejoong dengan usil sambil menaik-turunkan sebelah alisnya.

"Tentu saja ikan-ikan itu!" sahut Selir Suk dengan cepat sambil memalingkan wajahnya ke depan, berpura-pura memusatkan perhatiannya pada tali yang mengambang di atas permukaan air, tanpa mampu menyembunyikan semburat merah yang menghiasi kedua belah pipinya. Dalam hati ia mengutuk tingkahnya sendiri, yang mau saja termakan godaan namja cantik itu.

Jaejoong yang menyaksikan hal itu kembali tak dapat menahan tawanya. Sementara Selir Suk hanya mendengus kesal.

"Eomma…," ujar Jaejoong tiba-tiba sambil menghentikan derai tawanya. Ditatapnya wajah cantik keibuan milik Selir Suk yang pada saat bersamaan juga sedang memandangi wajahnya.

"Ne?"

"Maafkan Joongie yang sudah menggoda Eomma. Sebenarnya, Joongie ingin berterima kasih karena pada saat Joongie membuat Sup 12 Rasa, Eomma terlebih dulu mengingatkan Joongie mengenai niat jahat Yang Mulia Permaisuri. Terima kasih juga karena sudah menyarankan Joongie untuk mencuci kembali mangkuk keramik yang akan Joongie gunakan untuk memasak menggunakan air perasan jeruk nipis itu sehingga racun yang menempel di dalamnya akhirnya luruh. Kalau bukan karena Eomma, mungkin nasib Joongie sudah berakhir di tiang gantungan dengan tuduhan meracuni Yang Mulia Raja sekaligus Yang Mulia Ibu Suri," ucap Jaejoong dengan tulus.

"Haaahhh, kukira kau ingin berterima kasih padaku karena buku teknik bercinta yang kuberikan padamu tempo hari telah berhasil kau praktekkan seluruh isinya," sahut Selir Suk dengan nada menggoda sambil mengerling nakal , seolah ingin membalas remaja yang sudah dianggapnya anak sendiri itu. Senyuman lebar terpasang di wajahnya ketika ia merasa berhasil membalas godaan remaja cantik itu.

"Eommaaa…," rengek Jaejoong sambil menggembungkan kedua pipinya, membuat Selir Suk terkikik pelan. Rona merah merambat di kedua belah pipi selir termuda itu mendengar godaan Selir Suk. Sebelah kakinya yang dimasukkan ke dalam sungai segera ditariknya, menyebabkan katak hijau di atas teratai yang dimainkannya terpelanting ke dalam sungai. Jaejoong langsung menekuk kedua kakinya di atas batu, dan menyembunyikan wajahnya yang memerah di antara lekukan kakinya itu, tak kuasa menahan malu. Tali pancing di tangannya entah sudah sejak kapan dibuangnya begitu saja.

"Hahaha, apakah Joongie-ku saat ini sedang mengingat kembali potongan kejadian di malam pertamanya?" Goda Selir Suk semakin menjadi. Tawa wanita yang berusia sebaya dengan ibu kandung Jaejoong itu semakin keras terdengar ketika dilihatnya Jaejoong yang langsung mengangkat wajahnya yang merah padam sambil mendelik kesal ke arahnya.

"Eomma, cukup! Joongie malu, Eommaaa…," Selir Suk benar-benar menghentikan tawanya ketika dilihatnya sepasang bola mata indah dari namja cantik yang sudah dianggapnya sebagai anak sendiri itu terlihat berkaca-kaca. Selir Suk lupa bahwa meskipun Jaejoong suka menggodanya, namun remaja cantik itu masih belum terbiasa untuk membicarakan hal-hal seputar ranjangnya. Ia segera membuang begitu saja tali yang ada di tangannya, lalu melangkah tergesa menghampiri Jaejoong. Ia duduk di samping namja berusia lima belas tahun itu, lalu merengkuh tubuh mungil itu ke dalam pelukannya. Dengan lembut diusapnya punggung remaja berparas menawan yang ternyata sangat pemalu itu.

"Ssshhh, uljima…! Maafkan Eomma, Sayang. Aishhh, Eomma terkadang lupa kalau kau masih sangat muda. Tentu saja hal tabu seperti itu sangat memalukan untuk diperbincangkan. Lain kali Eomma tidak akan menggodamu seperti itu lagi, ne?" bujuk Selir Suk yang akhirnya kelimpungan sendiri. Jaejoong menganggukkan kepalanya dengan mata mengerjap lucu hingga membuat Selir Suk tak kuasa menahan dirinya. Dengan gemas, ditariknya kedua belah pipi namja cantik itu.

"Appooo[38]! Eomma, sakit!" sungut Jaejoong sambil menjauhkan diri dari Selir Suk. Diusapnya kedua belah pipinya yang cukup sakit karena tarikan Selir Suk. Jaejoong menatap sengit ke arah wanita yang juga sudah dianggapnya seperti ibu sendiri itu dengan bibir mengerucut. Selir Suk yang seolah baru menyadari perbuatannya buru-buru menghampiri Jaejoong dan membelai kedua belah pipi yang terlihat memerah itu.

"Mianhae[39], Sayang. Kau benar-benar membuat Eomma gemas. Eomma selalu tidak mampu mengendalikan diri kalau berada di dekatmu. Apakah pipimu masih sakit, hemmm?" tanya Selir Suk penuh penyesalan. Jaejoong menggelengkan kepalanya. Selir Suk mengajak Jaejoong kembali duduk di atas batu. Jaejoong mengangguk setuju. Ia lalu merebahkan kepalanya di atas paha Selir Suk yang membelai lembut rambutnya. Kekesalannya menguap begitu saja karena ia tahu kalau sesungguhnya Selir Suk tidak bermaksud jahat padanya. Wanita yang dipanggilnya eomma itu justru sangat menyayanginya. Tapi sungguh, remaja cantik itu sangat malu jika sang eomma mulai menggodanya dengan membahas mengenai hal seputar ranjang pengantinnya.

"Ah iya, mengenai Yang Mulia Permaisuri, tidak usah kau pikirkan. Eomma tidak akan pernah membiarkan wanita jelmaan iblis itu mencelakakanmu. Waktu itu Eomma memang sengaja mengawasi kediamannya karena Eomma yakin bahwa ia pasti merencanakan sesuatu, dan ternyata firasat Eomma benar. Untung saja Eomma mendengar semua pembicaraannya dengan orang suruhannya itu."

"Tapi Joongie masih penasaran, bagaimana caranya Eomma berhasil meminta Yang Mulia Raja untuk mengajak Yang Mulia Permaisuri dan Yang Mulia Ibu Suri untuk turut serta mencicipi sup yang Joongie buat?" tanya Jaejoong penuh rasa ingin tahu.

"Eomma berhasil melakukannya karena pada saat itu kondisi hati Yang Mulia berada dalam keadaan yang sangat baik," jawab Selir Suk sambil tersenyum penuh makna, membuat remaja berparas cantik itu semakin penasaran.

"Maksud Eomma?"

"Eomma tahu bahwa saat itu Yang Mulia menemanimu hingga pagi hampir menjelang. Setelah menitipkan sepucuk surat untukmu pada Dayang Kwan, Eomma bergegas menemui Yang Mulia. Saat itu sinar wajah Yang Mulia terlihat sangat bahagia. Eomma langsung saja mengutarakan maksud Eomma. Eomma katakan saja bahwa kau pasti akan merasa lebih diterima oleh keluarga inti kerajaan apabila Yang Mulia Permaisuri dan Yang Mulia Ibu Suri turut diajak untuk ikut serta mencicipi sup buatanmu. Dan tepat seperti yang Eomma harapkan, Yang Mulia menyetujui saran Eomma. Tapi Eomma juga meminta agar Yang Mulia tidak memberitahumu mengenai hal itu di saat awal, agar konsentrasimu tidak terpecah. Karena itulah Dayang Istana Han mengatakan hal itu padamu di saat-saat akhir," jelas Selir Suk. Jaejoong mengangkat kepala dari rebahannya. Ia mengangguk paham.

"Ya, dan untung saja Eomma memberitahu Joongie pada waktu yang tepat. Yang Mulia Permaisuri benar-benar perempuan licik. Pantas saja ia tetap bersikap tenang, karena sebagai pemilik racun, ia pasti memiliki penawarnya, hingga ia tidak perlu mencemaskan dirinya. Perubahan rencana itu tentu tidak berpengaruh banyak padanya, karena ia tahu seandainya sup yang sudah dibubuhi racun itu dimakan oleh Yang Mulia Raja ataupun Yang Mulia Ibu Suri, maka hasilnya akan sama saja. Sama-sama mengantarkan Joongie ke tiang gantungan. Tapi untunglah dayang suruhannya itu berlaku ceroboh karena meletakkan racunnya di mangkuk keramik, bukan di mangkuk perunggu."

"Dayang itu hanya melakukannya sesuai perintah karena Yang Mulia Permaisuri mengira hanya Yang Mulia Raja saja yang akan mencicipi sup itu. Ia tidak menyiapkan rencana cadangan karena tidak mengira bahwa Yang Mulia akan merubah rencana awal. Dan sebenarnya, dayang itu memiliki kesempatan kedua untuk memasukkan racun itu ke dalam mangkukmu, sebab ia adalah salah satu dari tiga dayang yang ditunjuk oleh Dayang Istana Han untuk menghidangkannya. Tapi entah mengapa ia tidak melakukannya, padahal ia tahu persis bahwa nyawa ayahnya adalah tebusannya. Hhhh, Eomma yakin kalau ayah dan anak itu saat ini sama-sama sudah kehilangan nyawanya," desah Selir Suk di akhir ucapannya.

"Kasihan sekali nasib dayang itu. Yang Mulia Permaisuri tidak sekadar memberikan ancaman kosong," timpal Jaejoong dengan nada lirih.

"Tentu saja. Wanita itu tidak akan membiarkan seseorang yang gagal melaksanakan perintahnya untuk tetap hidup, karena hal itu sama artinya dengan menggali lubang kubur sendiri."

Jaejoong memungut kembali tali pancingannya yang sempat dibuangnya di atas rerumputan. Ia juga mengambil tali pancing milik Selir Suk yang tak jauh dari tempatnya. Ia lalu memasangkan umpan di kedua tali pancing itu, lalu menyerahkan salah satunya pada Selir Suk. Ia dan Selir Suk kemudian melanjutkan kembali kegiatan memancing mereka yang sempat terhenti, sambil duduk berdampingan di atas batu. Sesekali mereka berbagi canda yang tak urung mengundang tawa lepas keduanya.

ooo 000 ooo

"Pantas saja aku tidak menemukan kalian di kamar peristirahatan masing-masing. Rupanya kalian berada di sini," sebuah suara yang penuh wibawa terdengar dari arah belakang kedua selir berbeda usia itu, kira-kira sepeminuman teh kemudian. Jaejoong yang mendengar suara lelaki yang sangat dikenalnya itu menolehkan kepalanya ke belakang dan kembali melemparkan tali pancingnya ke sembarang tempat, lalu melompat turun dari batu yang didudukinya.

"Yang Mulia!" pekiknya dengan nada riang, sambil memeluk pinggang sang suami yang berdiri tak jauh darinya. Ia menyurukkan wajahnya di dada bidang suaminya itu. Menghirup aroma tubuh sang suami yang selalu menenangkannya. Sang raja yang berwajah tampan itu balas memeluk selir terkasihnya, sambil menghadiahkan sebuah kecupan singkat di kening sang selir yang langsung merona. Meskipun sudah sepekan ia resmi menjadi selir, namun ia tetap malu jika beradegan cukup intim dengan suaminya itu di depan orang lain. Sementara Selir Suk yang duduk tak jauh dari mereka hanya terkekeh kecil sambil menggelengkan kepala melihat tingkah Jaejoong yang begitu manja. Wanita itu kembali memandangi permukaan air di hadapannya setelah sebelumnya ia memberikan penghormatan pada sang suami.

Penguasa Kerajaan Joseon itu lalu membimbing Jaejoong untuk menghampiri Selir Suk. Ia mendudukkan dirinya tepat di samping wanita itu, di tempat yang semula diduduki oleh Jaejoong. Sedang Jaejoong duduk manis di antara kedua paha sang raja sambil membiarkan kedua lengan kokoh suaminya itu melingkar di perutnya.

"Sudah banyak hasil tangkapannya?" tanya Yang Mulia Raja dengan lembut kepada Selir Suk yang dibalas gelengan kepala oleh salah satu selirnya itu.

"Saya tidak sepandai Joongie dalam hal memancing, Yang Mulia. Makanya dari tadi saya baru mendapatkan dua ekor ikan berukuran kecil, sementara Joongie sudah hampir memenuhi wadahnya dengan ikan-ikan besar," jawab Selir Suk dengan sopan sambil tertawa kecil di ujung perkataannya. Yang Mulia Raja memberikan senyuman manisnya menanggapi ucapan selirnya itu.

"Eomma bilang ikan-ikan besar di sungai ini sengaja bersekutu untuk menjauhinya, Yang Mulia," adu Jaejoong sambil menutup mulutnya dengan punggung tangan, berusaha menyembunyikan tawanya yang hampir terlontar. Namja berparas menawan itu sedikit memiringkan tubuhnya, sehingga wajahnya tepat menghadap dada bidang suaminya. Ia lalu mengangkat wajahnya, memandangi paras tampan sang raja.

"Eomma?" tanya Yang Mulia Raja dengan nada heran mendengar panggilan dari selir terkasihnya itu kepada Selir Suk. Ia lalu memandangi kedua selirnya bergantian, seakan meminta penjelasan.

"Maafkan saya yang telah lancang, Yang Mulia. Saya yang meminta Joongie untuk memanggil saya Eomma. Sejujurnya, saat pertama kali melihatnya, timbul perasaan sayang saya padanya. Karena itulah saya memintanya untuk menganggap saya seperti ibu kandungnya sendiri dan memanggil saya Eomma. Bukankah seandainya saya bisa memiliki anak, maka anak itu mungkin saat ini sudah sebesar Joongie?" tanya Selir Suk dengan lirih sambil menjelaskan mengapa Jaejoong memanggilnya Eomma. Yang Mulia Raja yang mendengar perkataan Selir Suk itu segera merengkuh bahu salah satu selirnya itu dan mengusap punggungnya dengan tangan kanannya, sementara tangan kirinya masih melingkar di perut Jaejoong. Diberinya satu kecupan singkat di kening wanita itu.

"Maaf…," ujar Yang Mulia Raja. Begitu pelan suaranya, namun masih mampu ditangkap telinga. Selir Suk menggelengkan kepalanya sambil tersenyum tipis. Wanita berparas cantik itu meletakkan tali pancing yang sejak tadi dipegangnya. Ia lalu meraih tangan kanan sang Raja, dan menggenggamnya dengan erat.

"Yang Mulia tidak perlu meminta maaf. Ketidakmampuan saya juga selir-selir yang lain untuk memberikan keturunan pada Yang Mulia bukanlah kesalahan Yang Mulia. Tabib Istana sudah menjelaskan bahwa hal itu disebabkan oleh serbuk salah satu jenis bunga yang di dalamnya mengandung sejenis racun yang dapat menyebabkan ketidaksuburan pada seorang perempuan yang tidak sengaja masuk ke dalam makanan para selir saat terjadi angin badai di istana belasan tahun yang lalu. Saya tidak terlalu kecewa karena ketidakmampuan saya untuk memiliki anak, Yang Mulia. Terlebih, saya bisa sedikit melimpahkan kasih sayang saya sebagai seorang ibu kepada Putera Mahkota," jawab Selir Suk dengan ketegaran yang mengagumkan. Meskipun ia tahu penyebab sebenarnya mengapa para selir tidak mampu untuk mengandung dan melahirkan, namun ia tetap menyembunyikan kenyataan itu dari suaminya dan memilih untuk bersikap seolah-olah percaya dengan perkataan Tabib Istana agar sang raja tidak terpuruk dalam perasaan bersalah.

"Itu benar. Putera Mahkota Changmin juga sangat menyayangimu seperti ibu kandungnya sendiri. Kau tahu, bahkan sampai hari ini aku terus meminta para tabib di istana untuk mencari penawar dari tanaman beracun itu. Meskipun hasilnya belum terlihat sama sekali, tapi kuharap kau tidak berkecil hati" tutur Yang Mulia Raja, berusaha membesarkan hati selirnya itu.

"Eomma jangan bersedih lagi. Bukankah Eomma juga memiliki Joongie?" sela Jaejoong yang sejak tadi hanya diam, mencerna ucapan suaminya dan Selir Suk. Senyuman lebar terukir di wajah cantik Selir Suk. Ia menganggukkan kepala lalu mengangkat tangannya, membelai puncak kepala remaja berparas menawan itu.

"Joongie benar, Eomma tidak boleh larut dalam kesedihan karena Eomma juga memiliki Joongie yang nakal dan suka menggoda Eomma, tapi tidak boleh digoda," sahut Selir Suk membuat sang raja terkekeh pelan. Sementara Jaejoong memajukan bibirnya.

"Joongie tidak nakal. Joongie memang suka menggoda Eomma, tapi itu pun hanya sedikit. Yang sebenarnya nakal dan suka menggoda itu Eomma," balas Jaejoong. Ia lalu menarik-narik jubah suaminya. "Yang Mulia, Joongie tidak nakal, kan? Katakan pada Eomma kalau Joongie tidak nakal," pinta Jaejoong mencari pembelaan dengan sepasang bola mata yang terkesan menghiba. Persis anak kucing yang dibuang pemiliknya di tengah malam saat hujan lebat. Alih-alih menjawab, sang raja malah tertawa pelan demi menyaksikan kelakuan selir terkasihnya itu. Sang raja yang berwajah tampan itu mengetatkan pelukan tangan kirinya di perut Jaejoong.

"Ne, Joongie sama sekali tidak nakal," jawab Yang Mulia Raja akhirnya. Ia tahu benar bahwa selirnya yang paling muda itu akan terus cemberut jika ia tidak meng-iyakan ucapannya. Daripada bibir merah seperti buah plum yang sedang mengerucut itu terus-menerus menggodanya dan membuatnya tidak mampu menahan diri dan hasrat kelelakiannya, lebih baik ia menyudahinya secepat mungkin dengan meng-iyakan ucapan Jaejoong.

Jaejoong yang merasa mendapat pembelaan dari sang suami tersenyum lebar. Dengan sangat kekanakan ia bertepuk tangan dan menjulurkan lidahnya ke arah Selir Suk, yang hanya ditanggapi dengan kekehan ringan dari wanita itu. Seolah ingin menggoda Jaejoong, Selir Suk sengaja merapatkan tubuhnya dengan Yang Mulia Raja, dan meletakkan kepalanya di bahu sang raja yang berwajah tampan itu. Jaejoong yang melihat hal itu tidak mau kalah. Dengan segenap keberaniannya, diciumnya sekilas pipi kanan suaminya, lalu cepat-cepat menyembunyikan wajahnya yang memerah di dada bidang sang suami. Tingkahnya itu membuat Selir Suk dan Yang Mulia Raja tak mampu menahan tawa. Selir Suk bahkan tersenyum kecil sambil menggelengkan kepala menyaksikan kelakuan remaja cantik itu.

Setelah cukup lama menyembunyikan wajahnya di dada bidang sang raja, Jaejoong mengangkat wajahnya. Ia lalu melepaskan tangan sang suami yang melingkar di perutnya dan bangkit berdiri. Diedarkannya pandangannya, memandangi sekeliling. Matahari sudah kian tergelincir ke arah barat, dan tak lama lagi kegelapan akan menyelimuti tempat itu. Pandangan Jaejoong tertuju pada seutas tali yang tadi sempat dibuangnya. Dipungutnya tali itu, lalu diserahkannya kepada sang Raja yang terlihat mengerutkan keningnya.

"Hari sudah hampir malam, Joongie buat api dulu, ne? Joongie akan membuat ikan bakar ala rakyat jelata untuk makan malam kita yang rasanya dijamin enak, tak akan kalah dengan masakan istana," kata Jaejoong seraya menyatukan ikan hasil tangkapannya dengan tangkapan Selir Suk di satu wadah, dan meletakkannya tak jauh dari batu besar yang diduduki oleh Yang Mulia Raja dan Selir Suk. Ia lalu segera berlari ringan menuju ke pinggir hutan pinus untuk mencari kayu bakar dan ranting-ranting kering.

"Jangan jauh-jauh, Sayang!" seru Yang Mulia Raja sambil mengawasi selir terkasihnya itu.

"Iya, Yang Mulia. Yang Mulia dan Eomma sebaiknya terus memancing biar banyak," sahut Jaejoong.

Yang Mulia Raja dan Selir Suk saling melempar senyum dan mencoba menekuni pancing masing-masing. Akan tetapi, sang raja pemilik mata setajam elang itu tidak sepenuhnya memusatkan perhatian pada seutas tali di tangannya. Sebentar-sebentar ia mengamati permukaan air, lalu berganti ke tepi hutan di mana tubuh Jaejoong lenyap dari pandangannya. Sang raja yang sebenarnya cukup mahir memancing itu akhirnya kesal sendiri. Sudah cukup lama ia menunggu, tapi tak seekor ikan pun yang mau menyentuh umpannya, meski terlihat jelas ikan-ikan itu hilir-mudik di bawah kakinya. Ia lalu bangkit berdiri dan membuang tali pancingnya dengan kesal ke dalam sungai diiringi tawa lembut Selir Suk yang akhirnya juga membuang tali di genggamannya. Sang raja lalu mengajak Selir Suk untuk menunggu Jaejoong di paviliun kecil beratap jerami yang berada tak jauh dari sungai, sambil menenteng wadah yang hampir dipenuhi ikan hasil tangkapan Jaejoong.

Tak lama Jaejoong kembali menghampiri mereka sambil membawa beberapa kayu bakar dan ranting-ranting kering. Ia meletakkan kayu-kayu dan ranting-ranting itu di halaman paviliun dan menyusunnya sedemikian rupa. Remaja cantik itu lalu membuat api unggun untuk membakar ikan-ikan hasil tangkapan mereka. Selir Suk membantu Jaejoong menusuk ikan-ikan berukuran besar pada beberapa potong kayu kecil yang lurus. Jaejoong meletakkan dua batu sungai yang berbentuk memanjang di kedua sisi api unggun yang menyala di depannya. Kemudian ia meletakkan satu per satu ikan yang sudah ditusuk dengan kayu di atas batu-batu itu, membakarnya. Tak lupa sebelumnya ia melumuri ikan-ikan tersebut dengan kecap asin yang diberi perasan air jeruk nipis, setetes minyak wijen, serta bawang putih dan jahe yang dihaluskan secara merata. Jaejoong yang rupanya memang berniat untuk menikmati makan malam dengan menu ikan bakar hasil olahannya sendiri membawa beberapa bahan yang dibutuhkannya, yang semuanya dimasukkan ke dalam sebuah keranjang rotan yang diletakkannya di salah satu sudut paviliun.

Beberapa kali Jaejoong menambahkan ranting-ranting kering ke dalam api unggun. Cahaya api seketika menyemburat, menerangi halaman paviliun. Suara bergemeretak dari ranting-ranting yang terbakar seakan-akan ingin mengalahkan deru angin yang berhembus cukup kencang. Bunga-bunga api bermunculan dan terbang rendah. Jaejoong membalikkan ikan bakar olahannya. Malam akhirnya merambat, merayapi seluruh pelosok Kerajaan Joseon. Selir Suk menyalakan lampion yang tergantung di setiap sudut paviliun. Ia juga meletakkan beberapa buah lentera di cabang-cabang pohon yang telah mati, membuat suasana di dalam Taman Rahasia itu akhirnya cukup benderang.

Tak lama kemudian, tercium bau harum ikan bakar menyeruak hidung. Jaejoong mengeluarkan sebuah piring keramik datar dari keranjang rotan dan mengalasinya dengan daun pisang. Ia kemudian meletakkan ikan-ikan bakar hasil olahannya ke atas piring tersebut, dan membawanya ke dalam paviliun. Ia lalu mengeluarkan kembali dua buah piring keramik berukuran lebih kecil dan meletakkan masing-masing dua ekor ikan bakar ke atas piring dan menghidangkannya ke hadapan Yang Mulia Raja dan Selir Suk. Ia juga mengeluarkan dua pasang sumpit, dan sebuah mangkuk keramik kecil berisikan potongan cabai hijau, irisan bawang merah dan bawang putih serta jahe, dan kecap asin dari keranjang rotan yang dibawanya.

"Ikan bakar buatan Joongie sudah siap. Ayo, Yang Mulia dan Eomma harus mencobanya," kata Jaejoong. Ia menyerahkan piring berisi ikan bakar pada Selir Suk beserta sepasang sumpit. Sementara dia sendiri mengambil sumpit dan mencomot sebagian isi ikan yang masih mengepulkan uap dari piring satunya lagi. Sebentar ia meniup-niup daging ikan itu, lalu mencelupkannya ke dalam mangkuk keramik. Ia lalu menyuapkan ikan bakar olahannya ke dalam mulut suaminya menggunakan tangan kanannya, sementara tangan kirinya menengadah di bawah sikunya. Sang raja mengunyah sebentar daging ikan di dalam mulutnya, lalu mengangkat dua ibu jarinya ke arah selir termudanya itu. Dalam hati, sang raja memuji kepintaran selir terkasihnya itu yang mampu menyajikan makanan dengan bahan seadanya, namun hasilnya luar biasa nikmat.

"Cobalah! Ikan bakar ini benar-benar nikmat," ujar Yang Mulia Raja pada Selir Suk. Selir Suk menganggukkan kepala. Ia memegang sumpit dan mulai mencomot sebagian daging ikan. Setelah mencelupkannya ke dalam mangkuk keramik, ia pun mulai mengunyahnya. Dan Selir Suk benar-benar kaget saat merasakan kelezatan dari makanan berbahan sederhana itu.

"Anda benar Yang Mulia. Ikan bakar ini lezat sekali. Joongie, buka mulutmu, Sayang. Eomma akan menyuapimu," ujar Selir Suk sambil mengambil daging ikan yang lain dan menyuapkannya pada Jaejoong yang dengan senang hati menerimanya. Malam itu akhirnya berakhir dengan kegiatan makan malam dengan menu ikan bakar. Jaejoong dan Selir Suk bergantian menyuapi Yang Mulia Raja, lalu sang raja berwajah tampan itu juga bergantian menyuapi kedua selirnya. Sesekali gelak tawa dan canda terdengar di antara mereka, memecah kesunyian di dalam Taman Rahasia. Setelah acara makan malam sederhana itu berakhir, mereka bertiga duduk di beranda paviliun dengan posisi Jaejoong dan Selir Suk mengapit Yang Mulia Raja. Sang raja merengkuh pundak kedua selirnya, mengajak mereka menikmati pemandangan malam berupa sekumpulan kunang-kunang yang seakan menari di atas permukaan air sungai.

ooo 000 ooo




Waktu tanpa lelah terus berputar, sebagaimana ketentuan hukum alam dalam kitab kehidupan. Dan dunia terus berjalan seiring dengan warna dan rupa-rupa cerita di dalamnya. Dari telik sandi yang disebar oleh Kepala Pengawal Kim, didapat laporan bahwa beberapa buah kapal layar berukuran besar telah mendarat di Pelabuhan Timur Kerajaan Joseon. Dari bendera yang berkibar di tiang kapal, dapat dipastikan kalau kapal tersebut berasal dari Kerajaan Ming. Dengan berlabuhnya kapal-kapal besar dari Kerajaan Ming tersebut, bisa dipastikan bahwa peperangan dengan kerajaan tetangga itu tidak mungkin dapat terelakkan lagi. Genderang perang telah ditabuh. Hanya tinggal menunggu waktu kapan pertempuran hebat itu akan terjadi. Ibarat api yang telah disulut, hanya tinggal menunggu hembusan angin untuk membuatnya menjadi kian berkobar. Kerajaan Ming yang dulunya merupakan sekutu Kerajaan Joseon dalam melawan bajak laut Jepang yang mengacau di wilayah semenanjung Korea kini berbalik menjadi musuh, sebab Yang Mulia Raja Yi Yunho dengan tegas menolak permintaan Pimpinan Tertinggi Kerajaan Ming yang menyatakan bahwa ia menginginkan tanda takluk dari kerajaan itu. Sebagai sebuah negara yang merdeka dan berdaulat, sang Raja Sukjong tentu tak menginginkan negara yang dipimpinnya harus tunduk pada kekuasaan pihak lain.

Sang raja berwajah tampan yang telah menerima kabar itu dari Kepala Pengawal Kim beberapa hari sebelumnya mengambil langkah cepat dengan mengumpulkan seluruh pembesar dan pejabat kerajaan untuk merundingkan tindakan yang harus mereka ambil. Setelah dicapai kata sepakat di antara semua fraksi di pemerintahan bahwa mereka akan mempertahankan kerajaan yang dibangun dengan darah dan keringat leluhur itu hingga tetes darah penghabisan, maka Yang Mulia Raja segera mengumpulkan istri-istrinya. Dan di sinilah mereka akhirnya, di sebuah ruangan yang biasa digunakan untuk pertemuan keluarga kerajaan. Yang Mulia Raja yang selalu tampak agung dalam balutan gonryongpo berwarna merah duduk dengan didampingi oleh Yang Mulia Permaisuri yang tampak anggun dalam balutan dangui dan seuran chima berwarna scarlet. Sementara di hadapannya, selir-selirnya duduk membentuk setengah lingkaran. Selir Hee dari klan Jang yang mengenakan dangui dan seuran chima berwarna ungu muda duduk paling kanan. Disusul Selir Myeong dari klan Park yang mengenakan dangui dan seuran chima berwarna kuning gading. Di sebelahnya, tampak Selir Yeong dari klan Han yang tampak cantik dalam balutan dangui dan seuran chima berwarna putih. Lalu ada Selir Yu dari klan Choi yang mengenakan dangui dan seuran chima berwarna merah muda berdampingan dengan Selir Suk yang juga berasal dari klan Choi yang terbalut dangui dan seuran chima berwarna biru cerah. Sementara Jaejoong dari klan Kim yang tampak memesona dalam balutan dangui dan seuran chima berwarna hijau pucuk daun duduk paling kiri, tepat di samping Selir Suk.

"Aku yakin kalian sudah mendengar apa yang sedang terjadi di luar sana, dan mengetahui maksudku mengumpulkan kalian semua di sini," ujar Yang Mulia Raja dengan suara penuh wibawa, membuka percakapan. Dipandanginya satu per satu wajah para selirnya itu. Ke-enam selirnya itu menganggukkan kepala dengan hormat.

"Tentang kedatangan kapal-kapal Kerajaan Ming di Pelabuhan Timur, Yang Mulia?" Selir Yeong memberanikan diri untuk mengajukan pertanyaan untuk memperjelas maksud perkataan suaminya. Sang raja sedikit menganggukkan kepalanya, menjawab pertanyaan salah satu selirnya itu.

"Hal itu juga kah yang membuat Yang Mulia beberapa hari ini kelihatan resah dan gelisah?" sambung Selir Yu yang lagi-lagi mendapat balasan berupa anggukan kecil dari sang raja yang memiliki mata setajam elang itu.

"Pihak Ming sudah mendarat di Pelabuhan Timur. Itu berarti sasaran mereka adalah Istana Changdeok ini. Benarkah begitu, Yang Mulia?" susul Selir Hee yang juga mendapat balasan berupa anggukan kepala.

"Itu benar. Telik sandi yang kita sebarkan telah melapor bahwa ada cukup banyak kapal besar dengan bendera Kerajaan Ming yang mendarat di Pelabuhan Timur. Hal itu berarti, cepat atau lambat kita akan kembali menghadapi peperangan. Saat ini para prajurit kita yang menjaga setiap perbatasan sudah bersiap siaga, hanya tinggal menunggu pergerakan dari musuh. Dan karena sewaktu-waktu perang bisa saja meletus, aku ingin kalian segera mempersiapkan barang-barang kalian seperlunya, selepas kalian keluar dari ruangan ini. Lima puluh prajurit akan mengiringi kalian. Kalian bersama Permaisuri, juga Ibu Suri dan Putera Mahkota harus secepatnya meninggalkan Istana Changdeok ini untuk mengungsi di istana utama yang lain. Kalian aman selama berada di ruangan rahasia bawah tanah di Istana Gyeongbok. Tidak akan ada yang menyangka keberadaan kalian di sana, mengingat kondisi istana yang hampir seluruh bangunannya telah rata dengan tanah. Beberapa panglima kerajaan akan membawa kalian pergi petang ini juga melalui lorong rahasia," jawab sang Raja dengan tegas. Jaejoong yang sejak tadi menundukkan kepalanya segera mengangkat wajahnya.

"Lalu bagaimana dengan Yang Mulia sendiri?" tanya selir termuda itu dengan benak menerka-nerka jawaban apa yang akan ia terima.

"Aku akan tetap berada di sini untuk memimpin peperangan, Joongie," jawab Yang Mulia Raja, seraya memaksakan sebuah senyum di sudut bibirnya. Jaejoong menggeleng cepat.

"Kalau begitu Joongie juga akan tetap berada di sini bersama Yang Mulia."

"Kau akan ikut ke pengungsian bersama rombongan yang lain, Joongie!"

"Tidak! Joongie tidak mau ikut mengungsi kalau Yang Mulia tetap di sini. Joongie juga akan tetap tinggal di sini untuk menemani Yang Mulia!" sentak remaja cantik itu. Selir Suk yang duduk tepat di samping Jaejoong berusaha menenangkan namja berparas menawan itu. Ia menggenggam erat jemari selir termuda itu yang sedang terkepal erat.

"Kau tidak bisa menolak, sebab ini perintah! Tolong mengertilah, Joongie. Aku melakukan ini untuk keselamatan kalian semua. Percayalah, aku pasti kembali dengan selamat. Tunggulah aku di Istana Gyeongbok."

"Dan Yang Mulia mengabaikan keselamatan Yang Mulia sendiri, begitu?" tukas Jaejoong getir.

"Negara ini membutuhkan sumbangan tenaga dan pikiranku, Joongie…,"

"Tidak! Pokoknya Joongie tidak mau! Joongie akan tetap berada di sini untuk mendampingi Yang Mulia. Jangan paksa Joongie untuk mengungsi. Joongie tidak mau!" tegas Jaejoong sambil mati-matian menahan butiran bening yang hendak menyeruak dari pelupuk matanya. Meski ia belum menyadari perasaannya yang sesungguhnya pada suaminya itu, namun hatinya tak rela membiarkan sang raja berwajah tampan itu sendirian memimpin prajurit untuk berperang.

"Untuk kali ini, maafkan aku karena tidak bisa mengabulkan permintaanmu, Sayang. Petang ini juga kau bersama rombongan yang lain harus segera meninggalkan istana ini!" jawab sang raja dengan ketegasan yang tak terbantahkan. Jaejoong menggigit bibir bawahnya, menahan perasaan sakit yang tiba-tiba menikam dadanya. Bibirnya bergetar, namun tak satu kata pun yang bisa ia keluarkan.

Selir Hee dan Selir Myeong beranjak dari duduknya, dan menghampiri Jaejoong yang sedang menundukkan kepalanya. Mereka secara bersamaan memeluk remaja cantik itu sambil berusaha menenangkannya. Sebagai seorang istri, mereka turut merasakan kegundahan yang mendera Jaejoong. Bagaimanapun, istri mana yang bisa duduk diam dengan tenang di pengungsian sementara suami harus bergelut dengan maut yang kapan saja bisa datang menjemput?

"Ssshhh, uljima, Joongie-ya. Yang Mulia pasti sudah memikirkan masak-masak segala keputusannya. Jangan mempersulit keadaan. Ikutlah bersama kami ke pengungsian," bujuk Selir Hee.

"Selir Hee benar, Joongie-ya. Dengan begitu, setidaknya kita turut sedikit meringankan beban pikiran Yang Mulia. Pikiran Yang Mulia pasti tidak akan terpecah saat memimpin peperangan karena mengetahui bahwa kita semua berada dalam keadaan yang aman," sambung Selir Myeong, berusaha membujuk Jaejoong untuk mengurungkan niatnya. Jaejoong kembali menggelengkan kepalanya. Ditatapnya suaminya itu dengan airmata yang tak lagi mampu dibendungnya.

"Yang Mulia, Joongie mohon, ijinkan Joongie untuk tetap tinggal dan menemani Yang Mulia. Jangan memaksa Joongie untuk ikut mengungsi. Setidaknya, untuk kali ini jangan memandang Joongie sebagai salah satu selir Yang Mulia. Tapi pandanglah Joongie sebagai seorang namja yang merasa berkewajiban untuk turut serta mempertahankan kedaulatan negaranya. Joongie bisa bertarung. Kim Ahjussi bilang kemampuan ilmu pedang Joongie meningkat pesat. Guru-guru Suci juga mengatakan kalau Joongie menguasai ilmu tentang strategi perang dengan cepat. Jadi Joongie mohon, ijinkan Joongie untuk turut berperang bersama Yang Mulia. Joongie mohon…," rintih remaja cantik itu sambil menjatuhkan diri dengan posisi berlutut di hadapan suaminya.

"Joongie…!" pekik Selir Suk tanpa sadar saat melihat namja cantik yang sudah dianggapnya seperti anak sendiri itu berlutut di hadapan sang raja.

"Joongie, jangan bersikap begini. Bangunlah…!" pinta sang raja melihat selirnya itu berlutut di hadapannya. Jika begini kejadiannya, aku menyesal telah mengijinkanmu untuk belajar bersama Putera Mahkota, Joongie, sambung sang raja di dalam hati. Memang, beberapa waktu sebelumnya Jaejoong merengek kepada suaminya, meminta ijin agar diperbolehkan untuk belajar mengenai ketatanegaraan dan pelajaran lainnya bersama Putera Mahkota Yi Changmin, setelah sehari sebelumnya sang putera mahkota juga meminta hal yang sama kepada sang ayah. Dan Yang Mulia Raja yang sangat mencintai namja cantik yang saat itu belum resmi menjadi selirnya, tanpa berpikir dua kali langsung mengijinkannya. Bukan itu saja, bahkan ketika Jaejoong meminta ijinnya untuk mempelajari ilmu pedang, lagi-lagi sang raja tak mampu menolak permintaannya. Bahkan sang raja sendiri yang memilih Kepala Pengawal Kim sebagai guru pedang remaja cantik itu.

"Joongie tidak akan bangun sebelum Yang Mulia mengijinkan Joongie untuk tetap tinggal di sini dan ikut berperang," jawab remaja cantik itu dengan keras kepala. Selir Suk dan selir-selir yang lain hanya saling pandang demi menyaksikan kekeraskepalaan selir termuda itu. Sedang Yang Mulia Raja hanya bisa menghembuskan napas panjang karena tak tahu lagi harus bersikap bagaimana menghadapi selir terkasihnya yang ternyata memiliki sifat keras kepala dibalik sifat manjanya itu.

"Yang Mulia…," sela Yang Mulia Permaisuri yang sejak tadi hanya diam menyaksikan semua kejadian di depan matanya. Wanita berparas cantik itu meraih tangan kanan suaminya, dan menggenggamnya dengan erat. Sebuah senyuman manis terlukis di bibirnya.

"Ya. Ada apa, Permaisuri?"

"Maafkan saya kalau saya terdengar lancang. Tapi menurut saya, apa yang dikatakan oleh Selir Hwan itu cukup masuk akal. Meskipun Selir Hwan merupakan salah satu selir utama Yang Mulia, namun kita tidak boleh menutup mata pada kenyataan bahwa ia tetaplah seorang namja," ucap Yang Mulia Permaisuri dengan nada lembut.

"Dan namja yang kau maksud itu baru berusia lima belas tahun, Permaisuri!" jawab Raja dengan tegas, begitu ia menangkap arah pembicaraan istrinya itu. Yang Mulia Permaisuri menganggukkan kepalanya sambil kembali menghadiahkan senyuman indah untuk suaminya.

"Saya tahu, Yang Mulia. Tapi Selir Hwan bukanlah remaja biasa. Ia justru seorang remaja yang sangat luar biasa karena bisa bertahan menghadapi banyak ujian kehidupan sejak ia berusia delapan tahun, Yang Mulia."

"Dengar, Permaisuri! Peperangan melawan Kerajaan Ming tidaklah sama dengan ujian kehidupan seperti yang kau maksudkan. Aku tidak bisa mengijinkan Joongie untuk tetap tinggal di sini bersamaku dan terjun dalam peperangan."

"Bukankah itu berarti, secara tidak langsung Yang Mulia meragukan kemampuan Selir Hwan? Apa yang Selir Hwan kemukakan itu benar, Yang Mulia. Saya mendengar dari Ayahanda kalau semua Guru Suci yang bertugas mengajari Selir Hwan dan Putera Mahkota mengenai ilmu ketatanegaraan memuji kemampuan Selir Hwan yang sangat cepat dalam menyerap ilmu baru. Dan Selir Hwan sangat berbakat dalam mempelajari ilmu perang. Bahkan saya mendengar sendiri dari mulut Kepala Pengawal Kim yang mengatakan bahwa kemampuan ilmu pedang Selir Hwan hanya setingkat di bawahnya, padahal ia baru mempelajarinya selama tiga purnama. Bukankah dengan mengikutsertakan Selir Hwan dalam peperangan justru menguntungkan pihak kita? Dengan kemampuannya, ia justru bisa memberi masukan yang sangat berharga untuk pasukan kita, Yang Mulia," papar Yang Mulia Permaisuri penuh kelembutan hingga membuat sang raja langsung terdiam. Ia tercenung sesaat dan berusaha mencerna ucapan sang istri. Sejujurnya, pendiriannya mulai sedikit goyah.

Sementara itu, selir-selir lain yang mendengar pembicaraan itu kembali saling pandang. Meskipun tiap kata yang meluncur dari bibir merah Yang Mulia Permaisuri diucapkan dengan penuh kelembutan, namun mereka menangkap dengan jelas maksud tersembunyi di balik semua itu. Wanita cantik yang selalu bersikap anggun penuh kelembutan di depan Yang Mulia Raja itu sudah pasti memiliki rencana keji di benaknya.

"Maaf jika saya lancang telah menyela pembicaraan, Yang Mulia. Tapi saya tidak setuju jika Joongie harus tetap tinggal di sini dan ikut terjun dalam peperangan melawan Kerajaan Ming. Kerajaan Joseon adalah kerajaan yang sangat besar. Kita memiliki jumlah pasukan yang sangat banyak. Tiga ribu prajurit pilihan, seribu punggawa, dan lima ratus panglima perang dan patih. Lima ribu orang tepatnya. Apakah di antara sedemikian banyak pasukan yang kita miliki tidak ada satu orang pun yang menguasai strategi perang hingga kita harus mengikutsertakan Joongie yang sama sekali belum memiliki pengalaman berperang untuk terlibat di dalamnya?" Selir Suk mengemukakan pendapatnya yang langsung menentang dengan tegas pendapat Yang Mulia Permaisuri. Ia bahkan menatap tajam ke arah wanita cantik itu. Sang raja mengangguk-anggukkan kepalanya, seakan menyetujui pendapat Selir Suk. Hatinya memang berat untuk mengijinkan selir terkasihnya itu untuk tetap tinggal bersamanya dan ikut serta berperang melawan Kerajaan Ming.

"Apa yang kau katakan itu tidak salah, Selir Suk. Tapi jangan terlalu jumawa dengan jumlah pasukan yang kita miliki. Ketika para pendahulu kita berperang melawan perompak Jepang, di atas kertas kita memiliki jumlah pasukan yang jauh lebih banyak. Terlebih lagi kita mendapat bantuan pasukan yang tidak sedikit dari Kerajaan Ming. Seharusnya kita bisa menang dengan mudah. Tapi kenyataannya kita nyaris menelan pil pahit berupa kekalahan. Padahal musuh kita memiliki pasukan dengan jumlah yang jauh lebih kecil. Kita memang meraih kemenangan pada akhirnya, tapi harga yang harus kita bayar adalah nyawa prajurit dan penduduk yang sangat banyak. Kau tentunya tahu betul apa yang menyebabkan kita nyaris mengalami kekalahan pada waktu itu, bukan? Selain kurangnya informasi mengenai kekuatan pihak musuh, strategi perang yang salah juga menjadi penyebab utama, padahal dari segi persenjataan kita memiliki persenjataan yang canggih seperti meriam dan panah api yang kita impor dari Ming. Belajar dari pengalaman masa lalu, jika saat ini ada seseorang yang menguasai strategi perang dengan baik dan bisa meminimalisir jatuhnya korban jiwa dari pihak kita, mengapa tidak kita coba?" kemuka Yang Mulia Permaisuri.

"Bukankah itu terdengar seperti Anda menginginkan Joongie untuk menjadi kelinci percobaan, Yang Mulia Permaisuri?" sambung Selir Hee. Yang Mulia Permaisuri menggelengkan kepalanya sambil tersenyum tipis. Namun di dalam hati, ia cukup terkejut dan menggeram jengkel ketika menyaksikan para selir yang selama ini bermusuhan karena termakan hasutan dari dayang kepercayaan masing-masing bisa duduk berdampingan dengan damai, tanpa aura permusuhan sedikit pun.

"Selir Hee, seandainya aku memiliki kemampuan yang sama seperti Selir Hwan, maka aku juga akan memutuskan untuk tetap tinggal di sisi Yang Mulia. Sayangnya aku hanya seorang wanita yang tidak memiliki kemampuan untuk merumuskan strategi perang, atau memainkan sebilah pedang. Aku hanya mengutarakan pendapatku. Kupikir Selir Hwan berhak mendapat kesempatan untuk menjajal kemampuannya. Aku yakin Yang Mulia Raja tidak akan membiarkan sesuatu yang buruk terjadi pada Selir Hwan. Dan percayalah, aku tidak akan memaksakan pendapatku. Semua keputusan ada di tangan Yang Mulia Raja. Anda berhak untuk memutuskan apa yang menurut Anda terbaik, Yang Mulia," ujar Yang Mulia Permaisuri sambil mengalihkan pandangannya dari Selir Hee, lalu menatap wajah tampan suaminya.

Sang raja kembali terdiam, menimbang-nimbang keputusan yang akan ia ambil. Ditatapnya Jaejoong yang masih berlutut di hadapannya. Setelah menghela napas untuk kesekian kalinya, Yang Mulia Raja beranjak dari duduknya dan menghampiri selir terkasihnya itu. Dipegangnya kedua pundak remaja cantik itu, lalu memintanya untuk menegakkan tubuhnya.

"Baiklah! Setelah aku mempertimbangkannya masak-masak, aku memutuskan kalau aku akan mengijinkan kau untuk tetap tinggal di sini dan ikut dalam peperangan bersamaku, Joongie. Tapi kau jangan senang dulu, aku memberimu ijin dengan beberapa syarat…," putus Yang Mulia Raja sambil memenggal kalimat akhirnya. Jaejoong yang mendengar hal itu segera mengangkat wajahnya dan menatap mata setajam elang milik suaminya. Mulutnya yang kecil sedikit ternganga, tak menyangka jika akhirnya suaminya itu akan berubah pikiran.

"Benarkah, Yang Mulia?" tanya Jaejoong berusaha meyakinkan dirinya sendiri. Kedua bola matanya yang bulat dan indah berpijar ceria. Dengan cepat ia bangun dari posisi berlututnya dan kembali duduk seperti semula, di samping Selir Suk. "Yang Mulia benar-benar mengijinkan Joongie untuk tetap tinggal dan ikut berperang?" tanya Jaejoong lagi, untuk memastikan.

"Jika sekali lagi kau mengajukan pertanyaan yang sama, maka aku akan membatalkan keputusanku. Dan jawaban untuk pertanyaanmu adalah iya. Aku mengijinkan kau untuk menemaniku dalam peperangan asal kau mematuhi syarat yang kuajukan," jawab sang raja.

"Andweee! Joongie tidak akan bertanya seperti itu lagi. Lalu, apa syaratnya, Yang Mulia? Katakan saja, Joongie pasti akan mematuhinya. Bahkan jika salah satu syaratnya Joongie harus membersihkan kandang kuda, akan Joongie lakukan asal Yang Mulia mengijinkan Joongie untuk tetap di sisi Yang Mulia dalam peperangan," sahut Jaejoong dengan mantap

"Akan kupertimbangkan kembali mengenai kesediaanmu membersihkan kandang kuda itu," ujar Yang Mulia Raja, membuat Permaisuri dan selir-selir yang lain terperangah tidak percaya. Tidak ada sedikit pun nada jenaka dalam ucapan Penguasa Josen itu. "Kau boleh tetap di sisiku, tapi tak kuijinkan kau untuk mengangkat senjata melawan musuh. Tugas utamamu adalah membantu mengatur strategi perang dengan ahli siasat kerajaan. Selama ini yang memegang jabatan itu adalah Panglima Kang, yang juga merupakan Panglima Tertinggi Kerajaan Joseon. Kau harus selalu menggunakan baju besi dan tidak boleh bertindak di luar perintahku. Kalau kau merasa syarat yang kuajukan memberatkanmu, maka kau bisa mengemas barang-barangmu dan ikut serta dalam rombongan untuk mengungsi. Dan satu lagi, sekali saja kau bertindak di luar perintahku, aku akan langsung mengirimmu ke pengungsian!" sambung sang raja dengan tegas. Jaejoong menelan ludahnya yang seolah tersangkut di tenggorokan. Ia buru-buru menganggukkan kepalanya, menyanggupi semua syarat yang diajukan suaminya. Baginya, syarat seberat apa pun akan ia jalani asal ia diijinkan untuk tetap berada di sisi sang suami yang berwajah tampan itu.

"Yang Mulia…!" seru Selir Suk dengan mata membulat sempurna. Ia seakan tidak memercayai pendengarannya sendiri. Benarkah suaminya itu telah memutuskan untuk mengijinkan Jaejoong ikut berperang? Sang raja segera mengangkat tangan kanannya, ketika dilihatnya Selir Suk kembali akan mengajukan bantahan.

"Keputusanku sudah bulat dan tidak akan kuubah lagi, Selir Suk. Joongie akan ikut bersamaku. Tidak usah cemas, aku pasti akan menjaganya dengan nyawaku. Kalian semua sebaiknya segera kembali ke kamar peristirahatan masing-masing, dan bergegas mempersiapkan diri!" perintah sang raja pada istri-istrinya itu. "Kau tetap di sini, Joongie!" sambungnya pada Jaejoong yang dijawab oleh namja cantik itu dengan anggukan patuh.

Yang Mulia Permaisuri memutar tubuhnya, hingga ia kini duduk berhadapan dengan suaminya itu. Tatapannya agak kosong dan matanya sedikit berkaca-kaca. Bibirnya yang merah bergetar, namun tak satu pun kata terlontar dari bibir itu. Dari ujung lengan pakaiannya, dikeluarkannya sebuah selendang putih yang segera dililitkannya di leher suaminya itu. Selendang putih yang melambangkan satu tekad untuk mempertahankan negara sampai titik darah penghabisan.

Sang raja merengkuh istrinya itu ke dalam pelukan, dan mengecup lembut kening wanita yang sudah mendampinginya selama belasan tahun dan memberikannya satu-satunya penerus Dinasti Yi.

"Jangan menangis. Aku pasti akan kembali dengan selamat dan membawa pulang kemenangan. Katakan pada Putera Mahkota bahwa aku menyayanginya. Awasi dia, jangan sampai ia melarikan diri lagi saat pelajaran Sejarah, atau mengusili dayang-dayang di Dapur Kerajaan," pesan sang raja, membuat Yang Mulia Permaisuri tersenyum tipis sambil menganggukkan kepala.

"Akan saya lakukan, Yang Mulia. Dan berjanjilah kalau Anda akan kembali dengan selamat. Kami menunggu Yang Mulia di Istana Gyeongbok," sahut Yang Mulia Permaisuri dengan nada begitu perlahan. Yang Mulia Raja turut menganggukkan kepalanya. Dengan lembut, sang raja mengangkat kedua tangan istrinya itu, lalu mendekatkannya ke bibirnya. Diciuminya bergantian jari-jemari lentik yang menghiasi tangan indah itu.

"Aku berjanji. Sekarang pergilah berkemas."

Yang Mulia Permaisuri bangkit berdiri dan membungkukkan tubuhnya. Ia tak langsung meninggalkan ruangan, tapi malah berjalan mendekati Jaejoong. Wanita cantik itu lalu merendahkan tubuhnya, dan menepuk pundak Jaejoong dengan pelan.

"Jaga Yang Mulia dengan baik, Selir Hwan. Dan pastikan kalian akan kembali dengan selamat," ujar wanita itu, penuh tekanan dalam nada suaranya. Ia kemudian berlalu meninggalkan ruangan pertemuan. Tak ada yang menyadari akan senyuman tipis yang terkesan sinis terukir dari bibir merah wanita itu.

Sementara Jaejoong hanya mengangguk kecil dan menatap lurus ke arah punggung wanita itu, yang akhirnya membelok ke kanan dan menghilang di ujung lorong. Satu per satu selir sang raja maju ke depan, dan bergantian memeluk lelaki gagah itu, seolah hendak mengucapkan salam perpisahan. Sang raja membalas pelukan selir-selirnya itu dengan erat, sambil mengecup kening mereka. Tak lupa ia menitipkan beberapa pesan berbeda kepada selir-selir itu. Dan ketika tiba giliran Selir Suk, sang raja memeluk selirnya itu sedikit lebih lama dari yang lain.

"Aku tahu kau kecewa dengan keputusanku. Tapi percayalah, Joongie akan baik-baik saja. Aku berjanji akan membawanya pulang padamu dengan selamat," kata sang raja sambil menyeka airmata yang merambat turun di antara kedua pipi wanita itu. Selir Suk mengangguk cepat dan menyurukkan wajahnya di dada suaminya, berusaha menyembunyikan tangisnya yang hendak pecah. Di dalam hati, Selir Suk percaya bahwa suaminya itu pasti akan melindungi Jaejoong dengan segala cara. Ia tahu seberapa besar cinta sang suami pada remaja cantik itu.

"Eomma jangan mencemaskan Joongie, ne? Joongie bisa menjaga diri Joongie sendiri. Joongie dan Yang Mulia serta seluruh prajurit kita pasti akan mampu memenangkan pertempuran kali ini, Eomma. Jadi berhentilah menangis. Eomma terlihat jelek kalau menangis begitu," hibur Jaejoong sambil memeluk wanita yang sudah dianggapnya seperti ibu kandungnya sendiri itu. Selir Suk mau tak mau tersenyum mendengar ucapan Jaejoong. Ia mengangkat wajahnya, lalu melepaskan pelukan Jaejoong dan Yang Mulia Raja. Ia lalu membungkukkan tubuh, memberi hormat pada suaminya itu, dan segera melangkahkan kaki meninggalkan ruangan pertemuan menyusul selir-selir lain yang lebih dahulu meninggalkan ruangan itu. Tak lupa sebelumnya ia berpesan supaya kedua lelaki yang disayanginya itu kembali dengan selamat, yang dibalas Jaejoong dengan balik berpesan supaya sang Eomma membawa serta ke-sepuluh ekor kelincinya dalam pengungsian.

Setelah semuanya meninggalkan ruangan pertemuan, sang raja bangkit berdiri dari duduknya dan mengajak selir terkasihnya itu untuk duduk di tepi jendela yang terbuka lebar. Jaejoong hanya menganggukkan kepala, sambil mengikuti langkah-langkah kaki suaminya. Mereka kemudian duduk berhadapan dibatasi meja batu rendah, sambil menikmati hembusan angin yang bertiup perlahan.

"Aku tahu kalau kau tidak akan bersikap begitu keras kepala seperti tadi tanpa alasan yang jelas. Nah, sekarang katakan padaku, apa yang sebenarnya ada di dalam benakmu?" tanya sang raja, setelah cukup lama terdiam.

"Eh? Jadi Yang Mulia mengetahuinya? Ugh, kalau begitu untuk apa Joongie sampai susah payah berlutut hingga kedua siku Joongie ini sakit?" rajuk sang selir dengan nada manja tanpa menjawab pertanyaan suaminya. Ia malah memajukan bibir merahnya yang terlihat begitu menggiurkan.

"Dasar nakal! Kau sengaja menggodaku, hemmm? Sekarang cepat katakan, apa yang kau pikirkan?" tanya sang raja sambil menarik hidung mancung selir terkasihnya itu.

"Hihihi…," Jaejoong terkikik pelan. Ia lalu menghembuskan napas panjang sambil meletakkan kedua sikunya di atas meja batu, dan menatap lekat wajah tampan suaminya dengan kedua tangan menopang dagu. "Seperti yang dikatakan oleh Selir Hee, mendaratnya kapal-kapal Kerajaan Ming di Pelabuhan Timur menandakan bahwa mereka mengincar Istana Changdeok yang merupakan pusat pemerintahan Kerajaan Joseon. Sejujurnya, Joongie sudah cukup lama juga mengamati sepak terjang Kerajaan Ming dalam mendapatkan daerah taklukan dan mempelajari taktik perang mereka. Dari hasil pengamatan Joongie, Joongie menarik kesimpulan bahwa mereka selalu menggunakan cara dan taktik perang yang sama. Mereka akan langsung menghancurkan desa yang paling dekat dengan pusat pemerintahan dari kerajaan yang mereka incar. Sementara sepengetahuan Joongie, hanya ada tiga desa yang merupakan desa terdekat dengan Joseon dari sisi timur, yakni Desa Shinjeom, Desa Neunghyeon, dan Desa Yeoju. Dan di antara ke-tiga desa itu, Desa Yeoju adalah desa yang paling dekat dan menjadi pintu gerbang masuk ke istana ini," ucap Jaejoong. Raut wajahnya terlihat begitu serius, berusaha menyampaikan apa yang ada di dalam benaknya.

"Lalu?" tanya sang raja yang belum mengerti akan jalan pikiran selirnya itu. Ia sama sekali tidak bisa menangkap arah pembicaraan mereka.

"Yang ingin Joongie sampaikan ialah, jika pihak Ming ingin menguasai Istana Changdeok, maka mereka harus masuk dari Desa Yeoju untuk bisa mencapai istana utama. Dan itu artinya, ada bahaya besar mengintai desa itu. Cepat atau lambat, pihak lawan akan menyerang Desa Yeoju. Karena itu kita harus bertindak cepat dan mengatur siasat yang tepat untuk mencegah hal itu terjadi. Menurut Joongie, sebaiknya kita menjadikan Desa Yeoju sebagai pusat pertahanan pasukan kita, Yang Mulia. Joongie sudah mempelajari seluk-beluk desa itu. Di sana ada sebuah hutan yang bisa dilewati pihak musuh sebagai jalan masuk, dengan jurang-jurang yang dalam mengapit di kedua sisi. Di sebelah timur desa itu terdapat bukit-bukit batu yang sangat tinggi. Tapi Joongie yakin pihak Ming tidak akan melakukan tindakan bodoh dengan menyeberang dari sana. Itu terlalu beresiko. Jadi, mereka pasti akan memilih hutan itu sebagai jalan masuk satu-satunya dan menggempur Desa Yeoju. Dengan begitu, mereka pikir mereka akan menghemat waktu, tenaga, juga menekan jatuhnya korban dari pihak mereka," jelas Jaejoong panjang lebar.

"Tapi tidak menutup kemungkinan kalau mereka akan melewati jalur sebelah barat, Sayang…," sanggah Yang Mulia Raja setelah merenungkan semua ucapan selir terkasihnya itu.

"Itu benar, Yang Mulia. Tapi mereka harus menyeberangi lautan terlebih dahulu. Dan hal itu justru sangat menguntungkan pasukan kita. Armada Geobukseon[40] akan dengan mudah menggempur dan menghancurkan mereka. Sebagai bekas sekutu kita, mereka pasti akan berpikir dua kali untuk menghadapi armada Kapal Kura-Kura yang kita miliki. Joongie sangat yakin kalau mereka tidak akan menempuh jalan lain lagi. Mereka pasti akan tetap menyerang Desa Yeoju dengan segala cara. Yang Mulia bisa mengirim Kim Ahjussi untuk memastikannya. Jika pihak Ming sampai membangun benteng pertahanan di Desa Yeoju, itu berarti perkiraan Joongie benar, dan kita harus segera menempatkan sebagian besar prajurit di sana untuk mencegah kemungkinan terburuk."

Sang raja terdiam untuk beberapa saat. Dalam hati, ia membenarkan perkataan selirnya itu. Apa yang diutarakan oleh Jaejoong memang sangat masuk akal. Bagaimanapun, Kerajaan Ming pernah menjadi sekutu mereka dan tahu persis kekuatan militer Kerajaan Joseon. Untuk menghadapi musuh yang sangat mengenal kekuatan mereka, tidak bisa hanya dengan mengandalkan jumlah pasukan yang banyak. Strategi perang yang jitu dan tepat sasaran justru sangat diperlukan dalam keadaan seperti sekarang ini.

"Jika apa yang kau katakan mengenai benteng pertahanan itu benar, maka itu artinya pihak Ming memilih peperangan di daratan. Itu sedikit melegakan buatku. Akan sangat sulit bagi kita jika mereka memilih pertempuran di lautan. Meski kita memiliki Kapal Kura-Kura, namun pihak Ming juga memiliki meriam, dan mereka sangat mahir dalam menggunakannya. Hal itulah yang akhir-akhir ini cukup mengganggu pikiranku. Persediaan meriam yang kita miliki sudah menipis, dan delegasi yang kukirim untuk merundingkan kesepakatan pembelian meriam dengan pihak Barat belum membawa hasil seperti yang diinginkan," tutur sang raja. Jaejoong menurunkan kedua tangannya yang sejak tadi menyangga dagunya. Ia lalu beringsut dari duduknya, dan memilih untuk duduk di atas pangkuan suaminya. Sang raja segera memeluk pinggang ramping selir terkasihnya itu dengan kedua lengannya yang kokoh. Aroma vanilla yang menguar dari tubuh sang selir langsung menenangkan hati sang raja.

"Berdasarkan pengamatan Joongie, pihak Ming tidak pernah menghancurkan infrastruktur daerah taklukannya jika mereka memilih berperang di daratan, Yang Mulia. Itulah sebabnya mengapa mereka selalu memilih untuk langsung menyerang ke pusat pemerintahan setiap daerah yang mereka incar. Tapi untuk berjaga-jaga, tidak ada salahnya kita membawa persediaan meriam kita yang sudah menipis itu seperlunya. Paling tidak, sampai negoisasi dengan pihak Barat selesai dan mereka menyetujui penawaran yang kita ajukan," sahut Jaejong sambil menyandarkan tubuhnya di dada bidang suaminya.

Sang Raja kembali menganggukkan kepalanya. Untuk beberapa saat tak ada lagi pembicaraan di antara mereka. Masing-masing larut dalam pikiran sendiri. Jaejoong terlihat mengetuk-ngetuk dagunya dengan ujung telunjuk kanannya, seakan sedang memikirkan sesuatu. Tindakannya itu tentu saja menarik keingintahuan suaminya.

"Ada sesuatu yang mengusik pikiranmu?" tanya sang raja langsung.

"Eummm…. Sebenarnya, sejak tadi Joongie ingin sekali menanyakan perihal ruangan rahasia bawah tanah yang terdapat di Istana Gyeongbok yang sudah hangus terbakar bersama istana timur dan barat lainnya. Mengapa baru sekarang Joongie mengetahui keberadaan ruangan rahasia itu? Di buku pelajaran Sejarah yang Joongie baca, tidak disebutkan mengenai adanya suatu ruangan rahasia yang terdapat di bawah puing-puing Istana Gyeongbok, Yang Mulia," jawab Jaejoong seraya menjelaskan apa yang mengganjal di hatinya.

"Memang tidak banyak yang mengetahui hal itu, Sayang. Karena itulah maka di dalam kitab atau buku Sejarah mana pun, tak akan kau temui halaman yang membahas mengenai ruangan rahasia bawah tanah Istana Gyeongbok. Setelah kebakaran hebat yang disebabkan oleh pemanas ruangan yang membumihanguskan bagian-bagian vital Istana Gyeongbok, pemimpin kerajaan terdahulu segera memerintahkan pembangunan ruangan rahasia itu. Dengan bantuan arsitek dari Barat, ruangan rahasia bawah tanah itu didesain dengan bentuk yang sama persis dengan ruangan istana yang ada di atasnya. Karena itulah maka tidak usah heran jika di sana juga terdapat ruang belajar dan dapur. Tenaga-tenaga yang membangunnya juga adalah ahli pertukangan dan arsitek yang telah disumpah untuk tidak akan membocorkan keberadaan ruangan rahasia itu. Ketika invasi Jepang beberapa puluh tahun yang lalu, beberapa anggota keluarga kerajaan terdahulu juga mengungsi di ruangan bawah tanah tersebut hingga keadaan kembali aman. Di sana merupakan tempat pengungsian yang paling aman sejauh ini," jelas Yang Mulia Raja Sukjong panjang lebar. Jaejoong terlihat mengangguk-anggukkan kepalanya, dan tak lagi meneruskan pertanyaannya. Untuk beberapa saat mereka kembali terdiam, hingga hanya desir angin yang berhembus menyapa pendengaran.

"Sayang, sebaiknya kau kembali ke kamarmu, dan tunggu aku di sana," kata Yang Mulia Raja, setelah cukup lama mereka berdiam diri. Jaejoong yang masih berada di atas pangkuan suaminya memutar tubuhnya.

"Lalu Yang Mulia sendiri hendak ke mana?"

"Ada beberapa hal yang harus kubicarakan dengan Panglima Kang dan Kepala Pengawal Kim," jelas sang raja. Ditatapnya kedua bola mata sang selir yang begitu indah, dengan bulu-bulu lentik yang menghiasinya. Tangannya terangkat dan menjepit dagu Jaejoong. Sang raja mendekatkan wajahnya ke wajah namja cantik itu. Bibir mungil selir termuda itu sedikit terbuka dengan mata tidak berkedip. Deru napas semakin terasa hangat menerpa permukaan kulit ketika wajah mereka semakin dekat. Bibir tebal berbentuk hati milik sang raja menyentuh lembut bibir Jaejoong. Jaejoong melingkarkan tangannya ke leher suaminya. Ia yang mulai terbiasa dengan sentuhan-sentuhan suaminya, perlahan membalas ciuman suaminya. Bibir mereka semakin rapat menyatu.

"Ah…," desah Jaejoong dengan napas sedikit tersengal, ketika sang raja mengakhiri ciuman mereka. Wajahnya yang seputih susu mendadak memerah selayaknya tomat matang. Sang raja tertawa kecil melihat raut malu yang terpampang dari wajah cantik selirnya. Ia kemudian melepaskan pelukannya dari pinggang ramping Jaejoong, dan mengajak sang selir berdiri.

"Aku pergi dulu," pamit Yang Mulia Raja sambil mengecup kening Jaejoong. Jaejoong hanya mengangguk singkat sambil membungkukkan tubuhnya. Ia terus memandangi punggung suaminya, hingga bayangannya menghilang dari pandangannya. Setelah itu, ia pun turut melangkahkan kakinya, meninggalkan ruangan pertemuan tersebut.

              ~~~TBC~~~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar