Kamis, 02 April 2015

SECRET FIRE chap 8

Title : BERSEMI DI NEGERI SAKURA

Author    : Sulis Kim
Main Cash  : Kim Jaejoong
                     Jung Yunho
                       DBXQ
                   Suju and Other
                    Rate :M 18+
          Genre : Historical Romance

            WARNNING

REMAKE novel johanna lindsay ber judul secret fire * bersemi di rusia* dengan beberapa bagian Yang di ubah untuk menyesuaikan cerita.

Author cinta damai jika merasa tidak suka jangan baca . Jika anda membaca tolong tinggalkan jejak * swing *

YAOI. ff yaoi pertama saya . Biarpun remake mohon untuk tidak di cela dan butuh masukan jika memang menurut chinggu perlu.
감사함니다.

Happy reading ...
 
 
 

Yunho terkekeh ketika Jaejoong mencoba pindah dari tempat duduk barunya. " Aku memaksamu untuk berlibur, walaupun setengah yang kau katakan itu benar dan bepetualang ketempat tempat baru dan teman teman baru. Leeteuk memberi tahuku betapa cepat kau belajar bahasa Jepang, bahkan bahasa baru ...ya." Suara Yunho tiba tiba berubah dalam ." Aku juga memaksamu mengalami perasaan perasaan baru yang luar biasa. Aku mengenalkanmu pada gairah."

" Hentikan." mata Jaejoong melebar seraya mendorong dada Yunho untuk mencegah pria itu menariknya semakin dekat.

" Kau kira kau punya semua jawabanya, tapi tidak. Pertama tama, kehadiran pendamping tidak ada artinya ketika aku jelas jelas menghilang mendadak. Dan aku tidak akan menerima uangmu. Sudah ku katakan berulang ulang ayahku kaya, sangat kaya. Aku bisa hidup nyaman selama sisa hidupku hanya dengan warisanku. Kalau kau mau memberikan hartamu, berikan saja pada lord park .... yang membutuhkannya, aku tidak . . .dan aku jelas tidak akan membiarkanmu membunuhnya, tak peduli berapa banyak penderitaan yang ia berikan pada adikku."

Sebelum Jaejoong berkata kata lagi Yunho melawan dorongan tangan Jaejoong dan mencium namja itu. Itu bukan ciuman bergairah, hanya cukup menghentikan semburan amarah namja itu . .  .pada awalnya.

Ciuman itu semakin dalam dan semakin dalam hitungan detik. Ciuman ciuman Yunho sungguh membiuskan, obat penenang yang hebat. Jaejoong menjadi patuh dan mendengar Yunho menggerang.

" Demi tuhan, " Yunho menatap mata Jaejoong, mata gelap dan menghipnotis itu.
" katakan kita tidak butuh ranjang Boo, katakan kita tidak butuh, bojae." seraya bicara jemari Yunho menyelina0 di balik celana Jaejoong. Jaejoong menurunkan tangan untuk mencegahnya.

" Tidak."
" Boojae."
" Tidak, Yunho."
Yunho bersandar ke belakang, memejamkan mata. " Inilah yang kudapat karena bertanya."

Jaejoong tidak berkomentar, ia terlalu bingung sampai sampai tidak bisa kembali ke tempat duduknya ketika Yunho melepaskanya.
" Aku berencana berbagi mobil denganmu, tapi sepertinya itu bukan gagasan yang bagus, bukan?" lanjut Yunho." Aku akan menyerangmu saat mobil berjalan satu kilometer."

" Kau tidak akan melakukanya."
Yunho membuka satu mata dengan alis terangkat, lalu membuka matanya yang lain sambil mendesah.

" Tidak tidak, tapi kau akan menganggap sikap ramahku sebagai serangan, bukan begitu ,mungil? Dan karena aku tidak bisa menjaga tanganku kurasa sebaiknya di lakukan adalah pergi."
Yunho menunggu sesaat, berharap Jaejoong membantahnya. Ia kembali mendesah keras dan panjang ketika Jaejoong tidak menjawabnya.

" Baiklah. Tapi ku peringatkan, Boo. Saatnya akan tiba ketika aku tidak akan bisa di kendalikan semudah ini. Berdoalah kau sedang dalam perjalanan pulang ke Korea sebelum saat itu."

     ~~~*~~~

Ketika akhirnya Yunho berpindah mobil, datanglah Leeteuk dan Kangin yang akan menemani sepanjang perjalanan.

Mereka sempat menginap selama satu hari di salah satu estat teman Yunho saat pria itu sedang mengurus kembali bisnisnya.

Jaejoong harus tidur dengan para pelayan pria di lantai yang keras, karena menolak seranjang dengan Yunho. Jaejoong juga mencoba untuk kabur atau mencari cara untuk lain menghubungi keluarganya namun sepertinya Yunho sudah menduga dia akan melakukan berbagai cara untuk kabur,dan iapun gagal. Dengan Kangin dan pelayan lain yang terus mengawasinya.

Keesokan paginya mereka kembali melanjutkan perjalanan ke Kyoto. Mereka melewati perkebunan buah,sayur dan juga taman bunga sebelum akhirya terlihat mansion megah dari kejauhan.

Mereka sempat melewati beberapa mansion lain yang ukuranya lebih kecil jika di bandingkan Rumah yang di katakan Milik keluarga pangeran. Jaejoong terpana itu dalah istana bukan rumah atau mansion.

Mereka melewati taman bunga dan pohon limau yang tertata rapi di sepanjang jalan. Dari keempat mobil mewah yang berhenti di depan istana, mobil Jaejoonglah yang berhenti tepat di pintu depan.

Yunho mengemudikan mobilnya sendiri di lekanang, pria itu keluar dari mobil mengacuhkan rentetan pelayan dan bibinya yang sudah menunggu. Yunho membuka pintu mobil Jaejoong dan menarik pria itu keluar, dengan langkah panjang Yunho, Jaejoong sedikit susah untuk menyeimbangkan langkahnya.

Pria itu terlihat marah karena Jaejoong memaksa harus tidur bersama pelayan di banding tidur seranjang bersamanya.

Yunho begitu mudah di tebak ketika sedang marah ,kerutan dalam, bibir terkatup rapat, otot kecil yang berkedut di rahangnya sementara mengertakan gigi, serta tatapan membunuh dari pri itu ketika kebetulan menatap Jaejoong, seolah ingin menyekik Jaejoong.

Tidak heran para pelayan takut padanya, Jaejoong rasa ia seharusnya takut pada Yunho, tetapi tidak bisa menahan diri merasa geli, setidaknya saat ini. Yunho seperti anak kecik yang sedang merajuk.

Di selaras yang luas, Yunho memutar tubuh Jaejoong menghadap sebelum melepaskan pergelangan tangan Jaejoong. " Tidak sepatah katapun Jongie!" selanya ketika Jaejoong akan membuka mulut untuk memprotes sikapnya yang aneh.
" Tidak sepatah katapun. Aku muak dengan kekeras kepalaanmu, sikapmu yang suka membantah, dan terutama, aku muak dengan argumentasimu. Disini kau akan tidur di tempat yang diberikan bukan yang kau inginkan, tidak dengan pelayan, tapi di tempat yang kuberikan, Kangin." Yunho berteriak sambil menoleh kebelakang. " Kamar putih, dan pastikan dia tetap disana!"

Jaejoong menegang. Yunho lalu berbalik dan memunggunginya, dan berjalan ke arah bibinya. Di abaikan.

" Kau ...."
" Demi tuhan, jangan sekarang," Desis Kangin di telinga Jaejoong. " Dia sudah melampiaskan amarahnya. Emosinya akan membaik tapi tidak kalau kau menantangnya."

" Emosinya bisa terus menggila dan aku tidak peduli" Jaejoong balas mendesis, tidak dia tidak bisa memperintahku seperti itu."
" Tidak."

Jaejoong hendak membantah tapi menutup mulut. Tentu saja Yunho bisa memerintahnya. Selama Jaejoong berada di bawah kekuasaanya,Yunho bisa melakukan apapun yang diinginkan pria itu. Di pedesaan seperti ini, dan disekeliling orang orangnya.

Yunho sudah menyesali pertemuanya dengan Jaejoong, tak ada orang yang bisa membuatnya marasa begitu putus asa, dan ia bahkan tidak bisa mengatakan bahwa Jaejoong menebusnya dengan hal ha lain.

Melihat sikap bingung bibinya Yunho sadar sudah melewati bibinya dan tidak mengatakan apa apa.

" Siapa dia Yunnie?"
" Dia tidak penting, hanya orang Korea yang kembali bersama kami."

" Tapi kau menempatkanya di sayap pribadi ....."
" Untuk sementara " sela Yunho, Jangan cemas bibi Aoko. Aku akan memikirkan sesuatu yang bisa di lakukanya selama berada disini."

Aoko hendak protes memprotes, tapi urung. Tatapan benci terlihat di wajahnya ketika melihat teman seperjalanan Yunho. Jadi Yunho membawa seorang pelacur kerumah dan seorang namja, meski Aoko akui namja itu memiliki wajah yang menawan, tidak heran Yunho tertarik pada pria itu, mengingat selama ini keponakanya itu menghindari hubungan sesama jenis.

" Ngomong ngomong apakah kau sudah mengabari Ahra." ucap Aoko sengaja untuk menunjukan pada Jaejoong jika Yunho sudah memiliki pendamping.

" Aku akan menyuruh orang untuk kerumahnya."
" Tidakkan seharusnya kau melakukanya sendiri, Yunnie?"

" Dan terlihat terlalu bersemangat.?"
" Ahra akan merasa tersanjung, mengingat kau sudah meninggalkanya berbulan bulan untuk bisnis dan menjemput adikmu."

" Dia akan merasa ingin tertawa." bantah Yunho semakin kesal dengan pikiran kaku bibinya. " Kunjungan terus menerus tidak menggoyahkannya sebelum aku pergi. Tidak ada ruginya membiarkan Ahra bertanya tanya sebenarnya apakah aku masih tertarik."
" Tapi ..."

" Tidak ada tapi tapi," bentak Yunho. "Kalau menurutku aku tidak sanggup mendapatkan gadis cantik itu sendiri. Mungkin aku harus berhenti mencoba."

Itu peringatan,jelas dan sederhana, dan Aoko cukup bijaksana untuk menurut.

       ~~~*~~~

" Aku tidak akan bertanya apakah kau menyukai kamarmu. Kau akan berkata tidak lalu ..."

" Lalu kau bisa kembali marah marah," sela Jaejoong seraya berbalik perlahan menghadap Yunho. " Kau tau Yunho, luapan emosimu ini semakin lama semakin melelahkan."

" Emosi?"
" Apakah ini akan menjadi salah satunya?" tanya Jaejoong dengan mata melebar polos.

Yunho mengatupkan mulut, Jaejoong melakukanya lagi, sengaja memancingnya sampai ia tidak bisa berpikir, tidak bisa mengingat kenapa mencari namja itu. Tetapi Yunho tidak lupa. Dan dua orang bisa memainkan permainan Jaejoong.

" Kau kupa menyebut luapan emosimu sendiri."

" Aku? Luapan emosi?"

" Tidak, tentu saja kau tidak pernah meluapkan emsimu," Yunho mencemoh." Kau hanya menjerit dan berteriak seperti seorang yeoja, karena itu bagus untuk paru parumu."

Jaejoong menatap Yunho bingung lalu mulai tertawa ... Tawa hangat dan tuluts mengisi ruangan itu, membuat Yunho terpesona. Ia belum pernah mendengar Jaejoong tertawa, tidak seperti ini.

Hal itu membuatnya sadar ada aspek Jaejoong yang di lewatkanya ...selera humor atau bahkan, mungkin kenakalan. Kalau Yunho memikirkanya ,banyak hal yang dikatakan Jaejoong kepadanya,hal ha yang membuatnya kesal, bisa jadi godaan ringan.

" Oh, Tuhan." desah Jaejoong setelah sesaat, menghapus air mata di matanya. " Kau benar benar hebat, Yunho. Melatih paru paruku aku harus mengingatnya kalau kakakku mengeluh seperti tiran, Aku sering kehilangan kesabaran kepadanya."

Yunho tidak ingin merusak suasana baguas itu." Dan padaku"?
" Itu pasti."

Tapi Jaejoong tersenyum mengatakan itu, dan Yunho dipenuhi kegimbiraan aneh. Kenapa dia datang kesini? Untuk menetapkan peraturan.

Persetan dengan itu. Ia tidak benar benar ingin merubah Jaejoong atau menyingkirkan sandiwara Namja itu, yang sepertinya sangat dinikmati Jaejoong. Seandainya saja Yunho tidak terlalu sensitif mengenai Jaejoong! Tetapi kalau Jaejoong menggodanya walaupun tidam selalu . . .

" Harus ada cara untuk memperbaiki itu," kata Yunho seraya berjalan mendekat dengan santai.
" Memperbaiki?"

" Memperbaiki kurangnya kesabaranmu, kurangnya kesabaranku, emosi kita yang meledak ledak. Orang bilang pasangan kekasih tidak pernah berdebat."

" Apakah kita kembali ke masalah itu?"
" Kita tak pernah jauh dari itu."

Jaejoong mundur dengan was was ketika Yunho berada terlalu dekat. " Sebenarnya aku dengar pasangan kekasih yang justru sering bertengkar hebat."

" Mungkin beberapa tapi jelas tidak sering. Dan kalau mereka bertengkar, mereka punya cara yang sangat menyenangkan untuk berbaikan. Perlukah aku memberitahumu caranya?"

" Aku bisa . . ." Langkah mundur Jaejoong tertaha dinding, dan ia mengakhiri kata katanya dengan suara terkesiap. " Menebak."

" Kalau begitu bagaimana kalau kita berbaikan?"

Jaejoong menempelkan tangan di dada Yunho untuk menahan pria itu.
" Yunho bukankah kau datang menemuiku karena alasan tertentu?"

Yunho tersenyum melihat usaha Jaejoong, dan ia menangkap tangan Namja itu. " Aku akan mengatakan alasanya, mungil, kalau kau diam sebentar."

Jaejoong terhanyut dalam senyuman Yunho, dan dalam ciuman yang menyusul. Ini bukan serangan kasar yang di maksud dirinya.

Hasrat Yunho sudah sudah berkurang berkat obrolan mereka, tetapi tetap tersisa, dinyatakan dengan penjelajahan bibir dan lidah lembut dan memabukkan. Seperti yang terjadi sebelumnya. Ia berbagi, memberi, dan selama.
beberapa saat kemudian Jaejoong menerima semua yang di tawarkan Yunho, sampai Jaejoong tidak bisa lagi mengabaikan bukti gairah laki laki itu.

Jaejoong menarik bibirnya, terenggah enggah, mulai panik. " Yunho ..."

" Boojae, kau menginginkan aku." suara Yunho begitu serak sampai terasa menggetarkan tubuh Jaejoong. " Kenapa kau menyangkalnya?"

" Karena,,,, karena .... Tidak, aku tidak menginginkanmu. Tidak."

Tatapan Yunho skeptis, bibirnya menyebut Jaejoong pembohong tanpa suara. Jaejong tidak bisa membohongi laki laki itu, atau dirinya sendiri. Oh, kenapa Yunho tidak mengerti posisi Jaejoong? Kenapa Yunho harus menganggap hanya karena mereka pernah bercinta satu kali , Jaejoong bersedia melakukanya lagi? Tentu saja Jaejoong menginginkanya ,,,, bagaimana tidak? Tapi menyerah pada gairah itu tidak mungkin.

Salah satunya harus bersikap bijak, memikirkan konsekuensinya. Yunho jelas tidak akan melakukan atau hanya tidak peduli.

" Yunho bagaimana aku bisa membuatmu mengerti? Ciumanmu menyenangkan, tapi bagiku berakhir dissana. Bagimu itu berakhir di tempat kain."

" Dan apa salahnya itu? " kata Yunho membela diri.

" Aku bukan wanita murahan. Aku masih suci sampai bertemu denganmu. Dan sesering apapun kau menciumku, tak peduli aku mungkin... menyukainya, aku tidak bisa membiarkan hal itu berlanjut lebih jauh. Bagiku itu harus berakhir disana. Jadi...."

" Berakhir disana!" sela Yunho tajam." Ciuman di tangan berakhir disana, ciuman di pipi berakhir disana. Tapi ketika kau menempelkan tubuhmu ke tubuhku demi tuhan, itu jelas undangan untuk bercinta!"

Rasa panas menjalari pipi Jaejoong dengan kesadaran bahwa ia memang melakukanya tadi. " Kalau kau membiarkanku menyelesaikan kata kataku, aku hendak berkata akan lebih baik kalau kau menahan diri untuk menciumku lagi, sehingga kita mungkin bisa menghindari perdebatan tidak menyenangkan ini."

" Aku ingin menciummu!"
" Kau ingin lebih dari pada itu Yunho."

" Ya, Dan berbeda denganmu, aku tidak pernah menyangkalnya. Aku menginginkanmu , Boojae. Aku ingin bercinta denganmu. Usulmu supaya aku berhenti berusaha sungguh tidak masuk akal."

Jaejoong berpaling dari Yunho. Amarah Yunho merupakan bentuk lain gairah pria itu. Amarahnya terlalu hebat sedang Jaejoong sendiri juga sedang emosi.

" Aku tidak mengerti kenapa kau merasa begitu, Yunho. Apakah sadar kita belum pernah bicara, hanya bicara, untuk saling mengenal, membicarakan apa yang kita sukai? Semua yang ku ketahui tentangmu dari pelayan pekayanmu atau adikmu. Dan kau tahu lebih sedikit tentang diriku. Kenapa kita tidak bisa bicara sesekali, tanpa ketegangan yang menganggu?"

" Jangan naif, Jae." kata Yunho pahit. " Bicara? Aku tidak bisa berpikir kalau kau didekatku. Kau ingin hicara? Tulis saja surat untukku."

Ketika Jaejoong mendongak, Yunho sudah pergi, dan kamar itu, walaupun luas, tiba tiba terlihat kecil.

Apaka ia salah? Mungkinkah ada masa depan baginya bersama pria itu? Kalau ia menyerah, tidakkah minat Yunho berkurang? Adik Yunho berpikir begitu. Jadi kenapa Jaejoong harus membuka diri terhadap keterlibatan emosional yang tidak mungkin bertahan lama?

Siapa yang kau bohongi, Jaejoong? Kau sudah jauh terlibat secara emosional. Kau menginginkan pria itu. Dia membuatmu merasakan hal hal yang kau kira tidak bisa kau rasakan, menyakini hal hal yang selalu kau abaikan, kenapa kau menolak?

Jaejoong tidak terlalu yakin lagi. Dan setiap bertemu seperti ini dengan Yunho, ia semakin tidak yakin.

       ~~~*~~~

Jaejoong merasa satu hari di Kyoto begitu panjang. Ia masih merasa tertekan setelah Yunho meninggalkanya. Ia bisa saja berjalan jalan keliling rumah untuk menghibur diri, tak ada yang melarangnya tapi tetap saja dengan beberapa pasang mata yang mengintainya, jika ia berusaha melarikan diri.

Ia tinggal di istana, pedesaan yang indah, di dampingi pria paling tampan dan di idam idamkan para yeoja di dunia, namun ia tidak merasa bahagia.

Jaejoong mulai lemah, ia hampir mengorbankan prinsipnya. Dan ia tahu menyerah hanya masalah waktu. Itulah penyebab rasa tertekanya. Ia tidak ingin menjadi salah satu wanita yang di taklukkan Yunho. Ia tidak menginginkan pegabdian beberapa minggu. Ia menginginkan lebih dari pada itu. Harga dirinya menuntut lebih.

Jaejoong bahkan belum memeriksa kamar barunya, dan ia melakukanya setelah makan malam. Kamar itu luas dan putih. Namanya jelas sesuai, semua serba putih dari dan dengan alur emas dari lemari pakaian sampai rangka tempat tidur, dinding juga tirai brokat tebal. Jaejoong nyaris gembira Yunho menempatkanya di kamar semewah itu, sampai ia membuka pintu lain, pintu itu berhubungan, dan melihat pintu itu langsung mengarah ke kamar Yunho.

Jaejoong membanting pintu begitu melihat Doojoon membereskan pakaian Yunho, dan ia semakin marah saat melihat para pelayan melirik ke arahnya dengan kikikan angkuh. Ya tuhan, semua orang dirumah ini tahu Yunho menempatkan ia disini, di samping kamar Yunho, yang sudah di rancang jelas untuk istri majikan, atau dalam kasusnya ,simpanan.

Para pelayan sudah pergi ketika Jaejoong keluar dari kamar mandi. Kamar tidurnya kosong, nampan makan malamnya pun sudah di bawa pergi.

Ia merasa harus marah, ia akan meminta Doojoon mencari Yunho untuknya. Dan dengan pikiran ia harus meluapkan masalahnya pada Yunho, Jaejoon membuka pintu penghubung itu.

Yang duduk di meja kecil,tengah menyelesaikan makan malamnya yang terlambat, adalah musuhnya.

Jaejoong terkejut sesaat, cukup terkejut untuk secara otomatis berujar. " Maafkan aku." lalu begitu menarik nafas lagi, iapun mengingat amarahnya. " Tidak, aku tidak meminta maaf kau sudah kelewatan kali ini, Jung."

Jaejoong mengacungkan jemarinya yang kaku ke belakangnya" Aku tidak akan tidur di kamar itu."

" Kenapa?"
" Karena kamar itu tepat di samping kamarmu."

Yunho meletakkan pisau dan garpunya lalu duduk bersandar, memberikan perhatian penuh kepada Jaejoong. " Kau pikir aku akan masuk ke kamarmu tapa di undang, ketika aku punya kesempatanya sejak kita pertama bertemu?"

" Bukan itu yang kupikirkan. Aku hanya tidak menginginkan kamar itu."

" Kau belum mengatakan alasanya kepadaku."
" Sudah kau  tidak mendengarnya."

Jaejoong mulai mondar mandir di depan pintu, lenganya disisingkan di bawah dada berisinya, tubuhnya kaku, rambutnya berayun ayun setiap kali ia berbalik.

" Kalau aku lebih posesif lagi, itu karena kamar itu merupakan bagian kamar tidur utama ini, dan aku tidak berhak berada di sana. Kesan yang di tunjukkan, itulah yang tidak bisa di terima. Dan kau tahu benar apa maksudku."

" Aku tahu."

Mata Jaejoong menusuk Yunho sejenak mendengar reaksi pasif itu " Aku bukan simpananmu! Aku tidak akan menjadi simpananmu, dan aku tidak ingin orang orangmu berpikir aku simpananmu."

Alih alih menjawab, Yunho hanya menatapnya, Yunho terlalu santai. Kemana perginya amarah yang timbul setiap kali Jaejoong melawan keinginanya? Yunho menginginkan Jaejoong di kamar putih. Kenapa Yunho tidak berdebat denganya tentang hak itu? 

Terlebih lagi, apa yang sudah meredakan emosi pria itu sejak terakhir bertemu ? Biasanya Yunho besikap mutam berhari hari setelah pertengkaran mereka yang kebih hebat.

" Bagaimana?"
" Percaya padaku, Jaejoongie. Sudah terlambat."

Ada yang tersirat dari nada suara Yunho yang menandakan Jaejoong seharusnya tahu sudah terlambat. Jaejoong diam, matanya menyipit, menatap Yunho, amarahnya meningat karena Yunho bersikap begitu misterius. Ia begitu marah sampai tubuhnya panas, mendengar jantungnya berdebar di telinga merasakan darahnya mengaliri bembuluhnya.

Yunho hanya duduk menunggu ,menatapnya, menunggu seolah Jaejoong tiba tiba saja akan paham.

Dan itulah yang terjadi. Jaejoong mendapati mencoba tetap diam benar benar tidak mungkin di lakukan. Ia pernah merasakan hal ini, dan bukan amarah yang menyebabkan gejala gejala ini.

Terkejut, Jaejoong melangkah maju mendekati Yunho, lalu melompat mundur, sadar dirinya tidak tidak berani terlalu dekat pria itu sekarang.

Jaejoong menggeryit memikirkan itu, meledak marah. " Sialan kau, Yunho, kau melakukan ini, bukan.?"

" Maafkan aku, mungil"
Dan Yunho bersungguh sungguh, ada penyesalan dalam raut wajahnya, bahkan sebersit perasaan jijik pada dirinya sendiri. Hal itu sama sekali tidak membuat Jaejoong terhibur, malah membuatnya lebih marah.

" Terkutuklah kau," jerit Jaejoong. " Kau bilang aku tidak akan di beri obat sialan itu lagi! Kau memintaku percaya padamu! Inikah cara aku bisa percaya padamu? Teganya kau melakukan itu padaku."

Setiap kata menghujam kesadaran Yunho. Ia sudah memikirkan pertanyaan yang sama ratusan kali hari ini. Ia menemukan alasan yang cukup untuk dirinya sendiri ketika emosi masih berkobar, lalu dia mabuk, dan jawabanya tidak terasa tepat ketika ia sudah tenang kembali.

" Aku memberi perintah dalam keadaan marah, Jongie, lalu pergi. Aku kembali kerumah sahabatku, tempat kita mampir semalam. Aku minum sampai mabuk. Aku tidak akan ada disini sekarang kalau salah seorang pelayannya tidak menjatuhkan nampan diluar ketika aku sedang tidur."

" Kupikir aku peduli kau ada di sini atau tidak?"

Yunho menggeryit mendengar celaan Jaejoong. " Kau lebih suka melaluinya sendirian? Karena aku tidak akan membiarkan orang lain mendekatimu"

" Tentu saja tidak. Itu bertentangan dengan tujuanmu, bukan?"

" Aku mencoba kembali tepat pada waktunya untuk membatalkan perintah, tapi ketika aku menaiki tangga, nampan makan malammu baru saja disingkirkan."

" Simpan saja alasan dan kebohonganmu. Tidak ada yang bisa kau katakan . . . "
Jaejoong berhenti ketika gelombang panas seakan menerjangnya, membuat ujung ujung sarafnya bergetar. Ia membungkuk lenganya memeluk perutnya, mencoba menahan gejolak dalam tubuhnya. Ia menggerang tahu itu tidak mungkin.

Mendengar Yunho bangkit dengan cemas, Jaejoong mengangkat kepala dan melemparkan tatapan yang begitu penuh kebencian sampai Yunho tak bergerak lebih jauh lagi. " Aku membencimu"

" Kalau begitu benci saja aku." sahut Yunho lirih penuh dengan penyesalan" Tapi malam ini , malam ini kau akan mencintaiku."

" Kau gila kalau berpikir begitu," jaejoong terkesiap mundur kearah pintu " Aku akan melalui ini sendirian . . . Tanpa . . .bantuan apapun ...darimu."

"Kau tak bisa melakuanya, Jae. Itu sebabnya kau marah."

" Menjauhlah dariku!"

Untuk waktu yang lama Yunho menatap pintu tertutu itu, lalu emosi yang di tahanya meledak keluar ketika ia membalikkan meja di depanya, membuat makanan dan minuman tumpah kemana mana. Itu tidak membantu.

Ia tidak percaya dirinya sudah melakukan hal ini pada Jaejoong, Namja itu tidak akan pernah memaafkanya. Seharunya itu tidak penting, demi Tuhan, itu penting.

Seharusnya aku di cambuk, pikir Yunho. Ia bisa mendapatkan wanita manapun dengan jentikan jari . Ia tidak punya alasan untuk memaksa Jaejoong, walaupun ia yakin Namja itu menginginkanya dan Jaejoong hanya butuh dorongan untuk mengakuinya.

Yunho bahkan tidak bisa melakukan apa yang diminta Jaejoong dan menjauh dari namja itu, bagaimana mungkin ? Ia tidak mungkin membiarkan jaejoong tersiksa.

Tapi dia tidak akan menerima kenikmatan. Itulah hukuman yang pantas untukku, pikir Yunho, meyakinkan Jaejoong dalam keadaan terangsang tapi tidak melakukan apa pun untuk meredakan gairaku sendiri.

Bertekat tetap mempertahankan keputusan itu walaupun bisa membunuhnya, Yunho dengan cepat melepaskan jubah dan memasukin kamar Jaejong.

           ~TBC~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar