Kamis, 16 April 2015

Thr Great Revenge chap 6A

Disclaimer: Sesungguhnya, hanya Tuhan Yang Maha Esa yang memiliki napas dan jalan kehidupan semua karakter yang ada dalam cerita Puan ini. Puan hanya meminjam nama mereka saja.

Rate: M

Genre: Puan agak kurang paham dengan masalah ini. Bisa jadi genre-nya romance, drama, tragedy and family.

Warning: Boys love, yaoi, m-preg, beberapa butir typo yang kemungkinan terlewat ketika proses peng-edit-an, jalan cerita yang cukup lambat, beberapa adegan penyiksaan, karakter para tokoh yang tidak sesuai kepribadian aslinya pastinya dan banyak lagi yang lainnya.

Cast:

- Kim Jaejoong as Kim Jaejoong/Selir Hwan (15 tahun)

- Jung Yunho as Raja Yi Yunho/Raja Sukjong (30 tahun)

- Kim Junsu as Kepala Pengawal Kim (28 tahun)

- Go Ahra as Permaisuri Yi Ahra (30 tahun)

- Shim Changmin as Putera Mahkota Yi Changmin (15 tahun)

- Park Yoochun akan muncul di chapter yang kesekian, jadi umur dan perannya juga belum Puan tentukan, hehehe.


chapter 6A


The Great Revenge

by

Puan Hujan

Chapter 6

Semburat mentari di kaki langit sebelah barat yang menyerupai lengkungan cahaya berwarna kuning kemerahan telah sejak beberapa waktu yang lalu menghilang dari pandangan, tertelan oleh lebatnya dedaunan. Mengantarkan senja kembali ke pangkuan malam. Kegelapan berbalut kesunyian akhirnya menyelimuti seluruh permukaan Desa Yeoju, sejauh mata mampu memandang serta telinga mampu mendengar. Tak ada lagi suara hiruk pikuk yang ditingkahi teriakan-teriakan keras yang mengobarkan semangat perang ataupun denting senjata beradu di desa pertanian yang merupakan pintu masuk utama ke Kerajaan Joseon dari sisi timur yang baru saja usai menjadi ladang pertempuran antara pasukan Kerajaan Joseon melawan pasukan Kerajaan Ming yang memang dikenal sebagai salah satu bangsa penakluk itu. Suasana hening seketika. Lewat penerangan seadanya yang berasal dari cahaya lampion yang tergantung di sudut-sudut rumah penduduk maupun obor-obor yang terpancang di setiap penjuru desa, terlihat jelas keadaan desa yang porak-poranda bagaikan baru saja diterjang sekawanan besar gajah liar yang kelaparan.

Yang Mulia Raja Yi Yunho yang masih duduk di atas punggung kudanya bersama selir terkasihnya, Jaejoong, mengedarkan pandangannya merayapi sekeliling. Titik-titik peluh tampak menyembul di beberapa bagian wajah tampan sang raja yang masih mengenakan pakaian perangnya itu. Peluh-peluh itu terlihat berkilau dipantulkan oleh cahaya.

Sang penguasa Joseon itu memerhatikan keadaan di sekitarnya dengan baik. Tak ada satu bagian pun yang terlewat dari pengamatannya. Di setiap jengkal tanah desa pertanian yang memasok persediaan lobak untuk dapur kerajaan itu, terlihat mayat-mayat dari kedua belah pihak bergelimpangan dalam keadaan tumpang tindih berlumuran darah, berbaur dengan bangkai-bangkai kuda tunggangan masing-masing. Pertempuran antara dua kerajaan besar yang pernah menjadi sekutu dimasa lalu itu memang tak hanya mengambil korban berupa nyawa manusia, tetapi juga nyawa ratusan ekor kuda yang turut tergeletak mati dalam keadaan tertembus puluhan anak panah atau terkena lemparan senjata. Beraneka ragam bentuk dan jenis senjata yang masih basah oleh anyir darah yang digunakan dalam pertempuran terlihat berserakan di atas tanah berumput yang keadaannya sudah tak berbentuk lagi karena injakan kaki-kaki kuda. Panji-panji kenegaraan beserta umbul-umbul dari kedua belah pihak juga tampak berserakan di sana-sini dalam keadaan yang tak lagi utuh. Sementara itu, ribuan kuda yang selamat dalam pertempuran namun kehilangan penunggangnya, meringkik keras memecah keheningan malam sambil mengangkat kedua kaki depannya ke atas. Membuat suasana desa pertanian yang sesaat sempat tenang itu kembali hiruk-pikuk.

"Panglima Kang, kau kuberikan wewenang penuh untuk mengendalikan keadaan dan memimpin pasukan gabungan antara Kerajaan Joseon dan Kerajaan Tiongkok. Segera perintahkan orang-orangmu untuk mengamankan situasi secepat mungkin!" perintah Yang Mulia Raja Yi Yunho dari atas punggung kudanya, dengan nada suara yang begitu berwibawa. Mencerminkan kharisma seorang raja agung pemimpin sebuah kerajaan besar.

"Segera hamba laksanakan, Yang Mulia!" jawab Panglima Kang dengan tegas sambil membungkukkan tubuh memberi hormat kepada sang raja yang secara perlahan mulai menggebah kudanya menuju ke tenda peristirahatan bersama selir terkasihnya.

Panglima Kang yang menerima perintah langsung dari sang raja untuk mengendalikan keadaan setelah pertempuran berakhir, segera membalikkan tubuh dan kembali ke anggota pasukannya. Dengan suara lantang menggelegar, sang panglima kawakan itu mengumpulkan para panglima bawahannya untuk menerima dan menjalankan tugas yang akan didelegasikannya.

"Panglima Choi, kuperintahkan kau untuk memimpin enam ratus orang prajurit Kerajaan Joseon untuk sesegera mungkin mengumpulkan mayat-mayat korban pertempuran. Susun mayat-mayat itu dalam posisi berjajar agar memudahkan proses penguburan yang akan kita lakukan secara massal!" perintah Panglima Kang kepada salah satu bawahannya yang bernama Panglima Choi. Bukan tanpa alasan jika sang panglima kawakan itu ingin sesegera mungkin melakukan acara penguburan, sebab di antara penerangan seadanya, penglihatan sang panglima sempat menangkap adanya sekawanan burung pemakan bangkai yang terbang berputar di atas langit Desa Yeoju. Burung-burung pemangsa yang datang akibat mencium aroma anyir darah.

"Segera saya laksanakan, Panglima Kang!" jawab Panglima Choi yang merupakan salah satu bawahan kepercayaannya yang rupanya juga sempat melihat kehadiran burung-burung pemakan bangkai itu dengan tegas, sambil membungkukkan tubuhnya. Tanpa menunggu perintah dua kali, Panglima Choi bergegas mengumpulkan enam ratus orang prajurit untuk melaksanakan perintah yang diberikan oleh sang Panglima Tertinggi Kerajaan Joseon tersebut. Sebelumnya, Panglima Choi sempat berpesan kepada para prajurit bawahannya untuk melindungi tangan mereka dengan sarung tangan kulit agar tidak terkena racun dari mayat-mayat yang tewas akibat serangan batu yang mengandung racun dari Selir Hwan. Setelah mendengarkan beberapa pesan dan perintah dari Panglima Choi, para prajurit Kerajaan Joseon bergerak cepat untuk melaksanakan tugas mereka tanpa banyak bicara.

"Panglima Lee, kau kuperintahkan untuk memimpin dua ratus orang prajurit untuk mengumpulkan bangkai-bangkai kuda yang turut menjadi korban dalam peperangan ini. Akan tetapi, cabutlah terlebih dahulu anak-anak panah atau pun senjata lain yang menembus tubuh hewan-hewan malang itu sebelum kalian menguburkannya!" perintah Panglima Kang kepada Panglima Lee.

"Segera saya laksanakan, Panglima Kang!" Sama seperti Panglima Choi, Panglima Lee juga bergegas menjalankan perintah yang diberikan oleh atasan yang sangat dikaguminya itu, setelah sebelumnya membungkukkan tubuh memberi hormat. Dikumpulkannya dua ratus orang prajurit Kerajaan Joseon yang segera berpencar menjalankan tugas setelah mendapat pengarahan darinya.

"Panglima Cho!" Panglima Kang yang terkenal tegas itu memanggil salah seorang panglima yang berusia cukup muda yang bernama Panglima Cho. "Kau kuperintahkan untuk memimpin tiga ratus orang prajurit Joseon untuk mengumpulkan segala jenis senjata maupun panji-panji kenegaraan dan umbul-umbul yang digunakan dalam peperangan!" lanjutnya memberi perintah. Setelah sedikit membungkukkan tubuhnya, panglima muda itu segera melaksanakan perintah yang ia terima. Ia mengumpulkan prajurit-prajurit bawahannya, kemudian bergegas menjalankan perintah dengan menyisir setapak demi setapak jalan yang mereka lalui.

"Dan kau, Panglima Jang, kau kupercayakan untuk menangani para tawanan perang. Pilih sendiri berapa jumlah prajurit yang kau perlukan untuk membantumu!" perintah Panglima Kang pada Panglima Jang yang berusia tiga tahun lebih muda darinya. Setelah membungkuk memberi hormat, Panglima Jang segera mengumpulkan dua puluh orang prajurit Joseon untuk membantunya menangani para tawanan perang yang pada saat ini sedang berbaris dalam posisi berjongkok, dengan kedua tangan terikat ke belakang punggung oleh sebuah rantai besi yang cukup besar. Tanpa menunggu lama, Panglima Jang segera memerintahkan dua puluh orang prajurit Kerajaan Joseon tersebut untuk mengawal para tawanan perang menuju ke sebuah tanah lapang yang berada tak jauh dari arena bekas pertempuran itu.

"Panglima Hwang, kupercayakan kau untuk memimpin sejumlah pasukan untuk memperbaiki sarana dan prasarana desa ini yang rusak. Kau kuberi kebebasan untuk memilih berapa pun prajurit yang kau butuhkan!" ujar Panglima Kang kepada Panglima Hwang yang merupakan salah seorang panglima utama dari fraksi Barat. Panglima Hwang yang mendapatkan perintah dari panglima yang berasal dari fraksi lawan politiknya itu hanya menjawab dengan sedikit anggukan kepala. Setelah membungkuk memberi hormat, Panglima Hwang segera kembali menemui para prajuritnya untuk secepat mungkin mengerjakan perintah yang diembannya.

Panglima Kang terus bergerak cepat mendelegasikan tugas. Para prajurit Kerajaan Joseon yang belum mendapat tugas digabungkan dengan pasukan Kerajaan Tiongkok, lalu Panglima Kang memerintahkan seorang panglima senior kerajaan tetangga itu untuk memimpin para prajurit untuk menggali dua buah lubang besar dan sebuah lubang berukuran sedang di sebelah utara Desa Yeoju, untuk menguburkan mayat-mayat korban perang dari kedua belah pihak, bangkai-bangkai kuda, juga senjata-senjata yang berhasil dikumpulkan. Panglima senior Kerajaan Tiongkok itu pun segera menjalankan perintah yang diberikan oleh Panglima Kang. Di bawah pimpinannya, sekitar seribu prajurit gabungan bekerja sama bahu-membahu menggali lubang sesuai perintah.

Panglima Jung yang merupakan panglima paling muda di antara para bawahan Panglima Kang yang lain mendapat perintah untuk memimpin para tabib istana dan perawat serta sejumlah prajurit untuk mengobati rekan-rekan mereka yang terluka. Tanpa banyak bicara, Panglima Jung segera memimpin para petugas bagian medis itu untuk melaksanakan perintah Panglima Kang. Panglima Kang dengan cepat kembali mendelegasikan tugas kepada para prajurit gabungan kedua kerajaan hingga tidak ada yang berpangku tangan dan berdiam diri. Para pemuda desa yang sebelumnya juga turut terjun ke dalam pertempuran mendapat tugas untuk membantu para prajurit yang bertugas di bagian perbekalan dan dapur umum untuk menyiapkan makanan dan minuman.

Kepala Desa Sung yang begitu perang berakhir dengan kemenangan di pihak pasukan Kerajaan Joseon langsung memerintahkan beberapa pemuda desa kepercayaannya untuk menjemput keluarganya yang berada di pengungsian yang letaknya tidak terlalu jauh dari desa itu, serta para penduduk lainnya yang turut pula mengungsi, segera menghampiri Panglima Kang. Begitu ia tiba di depan Panglima Tertinggi Kerajaan Joseon itu, Kepala Desa Sung segera membungkukkan tubuhnya. Ucapan terima kasih tak henti terlontar dari bibir tuanya kepada sang panglima yang masih tampak gagah di usianya yang sudah tidak muda lagi itu. Berkat gerak cepat para prajurit yang dipimpin oleh Panglima Kang, maka Desa Yeoju tidak mengalami nasib yang sama dengan dua desa tetangga yang telah rata dengan tanah dan kini hanya tinggal nama. Panglima Kang tersenyum lembut menerima ucapan terima kasih dari kepala desa itu. Ia lalu menepuk-nepuk pundak Kepala Desa Sung dan meminta lelaki separuh baya itu untuk kembali ke tengah-tengah penduduk desanya yang satu per satu mulai kembali dari pengungsian. Panglima Kang sempat melirik ke arah tenda besar yang disediakan untuk Kaisar Chen dari Kerajaan Tiongkok. Ia melihat sang kaisar yang merupakan sahabat lama dari junjungannya itu baru saja kembali masuk ke dalam tendanya untuk beristirahat, setelah sebelumnya sempat berbincang-bincang dengan Raja Sukjong. Entah apa yang mereka perbincangkan.

ooo 000 ooo

"Anda yakin akan menjemput keluarga kerajaan di Istana Gyeongbok malam ini juga, Yang Mulia?" tanya Panglima Kang setelah selesai mendelegasikan tugas kepada para bawahannya ketika dilihatnya junjungannya itu sudah melepas pakaian perangnya, dan kembali mengenakan gonryongpo merah berlambang naga lima jari seperti biasanya. Bahkan Jaejoong yang sebelumnya masih mengenakan pakaian perang juga sudah kembali mengenakan dangui dan seuran chima berwarna biru langit. Rambutnya yang lebat dan panjang sepinggang kali ini tidak dikepang atau digelung seperti biasanya, namun dibiarkan lepas tergerai begitu saja. Sebuah hiasan rambut berupa kalung tipis yang terbuat dari susunan batu giok dengan liontin berupa lonceng kecil yang menimbulkan suara indah ketika terkena hembusan angin tampak tersemat di tengah belahan rambutnya. Lonceng kecil itu jatuh tepat di antara kedua alisnya, membuat selir terkasih raja itu terlihat semakin cantik mempesona.

"Tentu, Panglima Kang. Aku dan rombongan akan menjemput Permaisuri serta yang lainnya malam ini juga, hingga besok pagi-pagi sekali bisa langsung kembali ke Istana Changdeok," jawab sang raja dengan sebuah senyum menghias wajah tampannya.

"Maafkan hamba yang lancang ini, Yang Mulia. Tapi, tidakkah Anda lelah? Tenaga Anda baru saja terkuras dalam pertarungan menghadapi pimpinan pasukan Ming. Bukankah akan lebih baik jika Yang Mulia beristirahat saja terlebih dahulu di sini malam ini untuk memulihkan tenaga? Besok pagi Anda bisa kembali ke Istana Changdeok. Dan mengenai keluarga kerajaan, Anda bisa memerintahkan beberapa panglima utama kerajaan untuk menjemput mereka, Yang Mulia," saran Panglima Kang yang buru-buru membungkukkan tubuhnya, khawatir jika sang raja muda itu murka mendengar ucapannya. Meski sesungguhnya kata-kata yang dilontarkan oleh sang panglima itu hanyalah sebagai bentuk perhatian dan kepeduliannya kepada sang raja junjungannya yang sangat disayanginya itu.

"Aku memahami kepedulianmu, Panglima Kang. Dan aku sangat berterima kasih untuk itu. Akan tetapi, aku sudah memutuskan untuk menjemput mereka malam ini juga. Mereka keluargaku, jadi merupakan kewajibanku untuk menjemput mereka. Aku tidak bisa membiarkan para panglima yang tentunya tak kalah terkuras tenaganya itu untuk menjemput anggota keluarga kerajaan. Biarkan mereka beristirahat. Kau juga sebaiknya segera beristirahat setelah semuanya selesai, Panglima Kang. Pertempuran tadi tentu sangat melelahkan. Oh ya, aku juga memercayaimu untuk melayani segala kebutuhan Kaisar Chen dengan sebaik mungkin selama beliau berada di sini. Dan aku berharap agar kau tidak mengecewakanku," ujar sang raja, tetap lembut nada suaranya.

"Hamba akan melayani Kaisar Chen sebaik mungkin dan menjaga keselamatannya dengan nyawa hamba, Yang Mulia!" tegas Panglima Kang sambil sedikit mengangkat wajahnya. Bibir sang panglima terlihat kembali bergerak membuka, namun tak ada satu pun suara yang terlontar dari mulutnya. Tingkahnya itu tak urung membuat sang raja mengerutkan keningnya.

"Bagus! Aku senang mendengarnya. Tapi, Panglima Kang, masih adakah ganjalan yang ingin kau sampaikan? Katakanlah!" ujar Yang Mulia Raja yang menangkap gelagat kalau sang panglima kepercayaannya itu ingin menyampaikan sesuatu.

"Ampun, Yang Mulia. Hamba hanya berpikir bahwa alangkah baiknya jika Yang Mulia dan rombongan menggunakan jalur laut dalam rangka menjemput keluarga kerajaan di Istana Gyeongbok. Jika menggunakan perahu, Yang Mulia beserta rombongan bisa menghemat tenaga dan beristirahat," terang Panglima Kang mengemukakan pendapatnya. Sang raja kembali tersenyum lebar melihat kepedulian Panglima Kang yang sangat besar.

"Aku sudah memikirkan semuanya, Panglima Kang. Memang benar aku bisa menghemat tenaga jika menggunakan perahu, akan tetapi baru sore berikutnya rombongan tiba di Istana Gyeongbok. Hal itulah yang menyebabkan aku memutuskan untuk memilih perjalanan berkuda saja ke sana. Sekali lagi aku sangat berterima kasih atas kepedulianmu, Panglima. Akan tetapi keputusanku sudah bulat. Aku percayakan pengamanan desa ini di bawah kendalimu, Panglima Kang."

"Hamba laksanakan, Yang Mulia!" Panglima Kang tak lagi memiliki kata-kata untuk menghalangi niat sang raja junjungannya.

"Bagus! Nah, kalau begitu aku pergi dulu," pamit Yang Mulia Raja sambil menepuk-nepuk pundak panglima yang masih nampak gagah meski usianya sudah setengah baya itu. Sang raja yang memiliki wajah berukuran kecil namun sangat tampan dengan rahangnya yang tegas itu segera melangkahkan kakinya keluar dari tenda yang disediakan untuknya, setelah sebelumnya memasangkan mantel bulu yang cukup tebal ke tubuh selir terkasihnya. Jaejoong mengikuti langkah kaki suaminya dengan bibir terkatup rapat. Mereka segera menghampiri Kepala Pengawal Kim dan Panglima Shin yang sudah duduk di atas punggung kuda masing-masing. Dua orang prajurit yang menuntun sepasang kuda berbulu hitam dan putih segera berjalan menghampiri kedua orang itu, dan segera menyerahkan tali kekang kuda-kuda tersebut pada sang raja dan selirnya. Dalam waktu bersamaan, setelah menerima tali kekang kuda mereka, kedua orang itu segera melompat naik ke punggung kuda masing-masing dan langsung menarik tali kekang kuda tunggangannya.

"Hiyaaa…!"

Tak lama kemudian, dengan diiringi pandangan mata Panglima Kang yang masih berdiri di mulut tenda yang terbuka lebar, rombongan kecil yang terdiri dari Kepala Pengawal Kim, Panglima Shin, Yang Mulia Raja, Jaejoong dan sekitar dua puluh punggawa pilihan bersenjata lengkap yang semuanya menunggang kuda itu mulai menggebah kudanya secara perlahan meninggalkan Desa Yeoju. Kepala Pengawal Kim dan Panglima Shin berkuda paling depan, dengan jarak kira-kira satu batang tombak. Di belakangnya Yang Mulia Raja dan Jaejoong menunggang kuda bersisian, diikuti oleh ke-dua puluh punggawa pilihan di belakang mereka. Para penduduk desa yang telah kembali dari pengungsian turut mengantarkan kepergian rombongan itu dengan berdiri berjajar di sisi kiri dan kanan jalan sambil menenteng lentera di tangan, sehingga keadaan jalan di mulut desa itu terlihat cukup benderang di antara kegelapan malam yang tanpa penerangan dari sang dewi malam yang rupanya masih asyik menyembunyikan diri di balik awan.

"Hidup Yang Mulia Raja Sukjong! Hidup Yang Mulia Raja Sukjong! Hidup Raja Agung Penguasa Joseon!"

Entah siapa yang mulanya meneriakkan kata-kata sanjungan itu, namun para penduduk desa dari berbagai tingkatan usia yang berbaris di tepi jalan secara serempak mengikuti seruan itu. Disusul beberapa seruan lain yang secara terang-terangan menyanjung sang penguasa Joseon itu. Yang Mulia Raja Yi Yunho yang memang dikenal sebagai raja yang dekat dengat rakyat sedikit menganggukkan kepalanya, lalu tersenyum lebar sambil menunggang kuda hitamnya perlahan melewati barisan penduduk desa yang mengantarkan kepergiannya beserta rombongan menuju Istana Gyeongbok yang bangunan utamanya sudah habis dilahap si Jago Merah itu. Jaejoong yang berkuda di sisi kiri sang suami turut tersenyum, dan mengedarkan pandangannya berkeliling. Angin yang berhembus sedikit kencang mempermainkan helaian rambutnya, dan membuat lonceng kecil di ujung kalung pendek hiasan rambutnya mengeluarkan suara yang sangat indah. Para penduduk Desa Yeoju yang sebagian besarnya baru pertama kalinya melihat secara langsung wajah cantik selir termuda Kerajaan Joseon itu tak kuasa menahan decak kekaguman mereka ketika melihat kecantikan sang selir. Seruan kagum berdengung bagai lebah, tak urung membuat kedua pipi sang selir memerah.

"Waaah, kau lihat itu? Itukah Selir Hwan? Selir termuda Yang Mulia? Lihat wajahnya! Cantik sekali, persis seperti yang dikatakan oleh orang-orang dari kota yang kerap mampir kemari. Dan senyumnya! Begitu indah. Ia juga terlihat sangat ramah," ujar seorang gadis desa berusia sekitar delapan belas tahun kepada seorang gadis lain yang berdiri di sebelahnya. Kedua gadis yang mengenakan hanbok berwarna abu-abu yang sudah agak memudar warnanya itu terlihat memandangi Jaejoong dengan mata nyaris tak berkedip.

"Dia sosok tercantik yang pernah kulihat. Suamiku, semoga bayi kita yang berada dalam kandunganku ini kelak akan terlahir cantik seperti Selir Hwan, ne?" tutur perempuan berwajah cukup cantik dengan tahi lalat di antara kedua alis yang mengenakan hanbok berwarna hijau kusam yang berdiri di sisi kanan jalan. Ia menatap Jaejoong dengan kekaguman yang tak mampu disembunyikan. Tangan kiri perempuan yang sedang mengandung anak pertamanya itu tampak mengapit tangan kanan suaminya dengan begitu erat, sementara tangan kanannya yang bebas mengelus-elus permukaan perutnya yang tampak membuncit. Sang suami yang berdiri di sebelahnya tampak menganggukkan kepalanya sebentar, lalu kembali menatap wajah cantik sang selir terkasih raja yang melintas di hadapannya dengan tatapan begitu memuja. Sang istri yang melihat kelakuan lelaki yang menjadi suaminya itu kesal bukan main dan langsung mencubit pinggang sang suami dengan geram sehingga lelaki desa berwajah cukup tampan itu meringis-ringis kesakitan.

"Selir Hwan tak hanya cantik, tapi juga pintar. Apa kau tahu, katanya keberhasilan para prajurit kita memenangkan pertempuran melawan pasukan Ming tidak terlepas dari campur tangan Selir Hwan yang memiliki strategi perang yang sangat jitu. Ia dengan sangat cerdik memanfaatkan kupu-kupu beracun untuk mengurangi kekuatan pihak lawan. Juga menyerang dengan batu-batu kerikil yang sudah direndam dalam larutan beracun. Bukankah itu sangat mengagumkan? Aku benar-benar mengaguminya!" tambah seorang pemuda desa berbadan kerempeng yang tidak mampu disembunyikan oleh hanbok putih-nya, dengan begitu menggebu-gebu. Ia sedang berbicara dengan pemuda lain yang berbadan cukup kekar, yang berdiri di samping kirinya dengan nada suara yang sedikit menyombongkan diri. Seakan-akan di desa itu hanya dialah yang paling tahu segala hal mengenai Jaejoong.

"Sudah cantik, pintar pula. Benar-benar sosok istri idaman!" balas lawan bicaranya, si pemuda berbadan cukup kekar yang mengenakan hanbok berwarna merah muda, sambil berdecak kagum.

"Sssttt! Pelankan suaramu! Apa kau mau dihukum Yang Mulia Raja karena kedapatan sedang mengagumi salah satu istrinya?" si pemuda kerempeng menyilangkan jari telunjuknya di tengah bibir, meminta lawan bicara yang tak lain adalah sepupunya itu untuk memelankan suaranya. Sepertinya ia lupa bahwa ia pun tadi cukup keras menyuarakan kekagumannya pada selir terkasih raja itu.

"Kau ini! Yang Mulia Raja itu pemimpin yang bijaksana. Beliau tidak akan sembarangan menjatuhkan tangan untuk menghukum rakyatnya. Lagi pula, apa salahku? Aku kan hanya bilang bahwa Selir Hwan benar-benar sosok istri idaman," bantah pemuda satunya lagi, merasa tak terima dengan ucapan sepupu kerempengnya itu.

"Heh, kalian berdua! Hentikan adu mulut kalian itu. Kalau kalian tak mau berhenti, bersiaplah untuk kuadu mulut kalian dengan mulut ayam betinaku!" hardik seorang lelaki tua yang sepertinya cukup berpengaruh di desa itu. Di pinggangnya tergantung sebuah golok berukuran cukup besar. Ucapannya kontan menghentikan debat kusir kedua pemuda desa itu.

Jaejoong yang mendengar dengan jelas seruan-seruan kekaguman yang terlontar dari bibir para penduduk desa yang ditujukan padanya tak kuasa menahan rona merah yang kembali menjalar di kedua pipinya. Ia hanya menundukkan wajahnya, meski sesekali ia akan menutupi mulutnya dengan punggung tangan untuk menyembunyikan tawanya ketika mendengar beberapa ucapan para penduduk desa yang terasa menggelitik perut. Sang raja yang juga mendengar seruan kekaguman dari para penduduk desa yang berbaris di tepi jalan itu tak mampu menyembunyikan perasaan bangga yang menyeruak di hatinya. Senyuman lebar kembali terpatri di wajah tampannya.

"Hidup Selir Hwan! Hidup Selir Hwan! Hidup Selir Hwan!"

Tanpa dikomando, penduduk desa secara serempak meneriakkan seruan-seruan yang menyanjung remaja cantik itu. Jaejoong perlahan mengangkat wajahnya yang masih merona, dan memberikan sebuah senyuman indah kepada para penduduk desa itu. Ia lalu mengangkat tangan kanannya, dan melambaikannya ke arah mereka sebagai pengganti ucapan terima kasih.

Rombongan itu terus memacu kuda tunggangan mereka perlahan-lahan, meninggalkan Desa Yeoju yang semakin lama semakin menghilang dari pandangan, tertelan oleh kegelapan malam. Cahaya lentera yang dibawa oleh para penduduk semakin lama semakin mengecil dan terlihat bagai sebuah titik putih di atas kertas hitam, sebelum akhirnya benar-benar lenyap dari penglihatan. Tak ada lagi pembicaraan yang terdengar, sehingga suara-suara yang timbul dari gesekan kaki kuda dengan daun-daun kering yang ditingkahi jerit binatang malam terdengar begitu jelas di telinga. Mereka mulai melewati sebuah sungai kecil berair dangkal, dan serentak berhenti dan melompat turun dari punggung kuda masing-masing untuk membiarkan kuda-kuda mereka menikmati jernihnya air sungai. Setelah memastikan kalau kuda-kuda mereka sudah cukup melepas dahaga, mereka kembali naik ke punggung kuda tunggangan masing-masing. Rombongan kecil itu kembali melanjutkan perjalanan dengan mengambil jalan memutar ke selatan yang merupakan jalan pintas terdekat menuju Istana Gyeongbok. Jalanan yang mereka lewati kini merupakan sebuah hutan bambu yang sangat tinggi dan rapat dan tampaknya jarang sekali dilewati penduduk. Begitu tingginya hingga seakan-akan puncak-puncak tanaman bambu itu menyatu membentuk atap berbentuk melengkung. Daun-daun bambu kering menumpuk menutupi permukaan tanah. Beberapa punggawa pilihan di barisan belakang segera membentuk formasi berlapis dua di sisi kiri dan kanan untuk meningkatkan penjagaan sambil memasang lentera tambahan untuk menerangi jalan begitu mendapat perintah langsung dari Kepala Pengawal Kim. Jaejoong segera memindahkan tali kekang kudanya ke tangan kiri, sementara tangan kanannya meraih payung kertas yang tersimpan di bagian punggung kuda putih tunggangannya. Ia lalu mengendalikan kudanya perlahan sambil memayungi kepalanya. Tingkahnya yang tak pernah luput dari perhatian Yang Mulia Raja tentu saja membuat sang suami memandanginya dengan raut wajah penuh tanya.

"Sayang, mengapa kau memakai payung di dalam hutan?" tanya sang raja yang tak mampu menyembunyikan rasa herannya.

"Hanya untuk berjaga-jaga, Yang Mulia. Hutan bambu ini sangat lebat, bahaya yang mengintai juga kemungkinan sangat banyak. Payung ini bisa melindungi kepala Joongie dari serangan bahaya yang tak tampak itu. Bukankah lebih baik bersikap waspada sebelum terlambat?" sahut selir terkasih raja itu sembari balik bertanya. Sang raja mengangguk paham dan lagi-lagi dibuat kagum dengan pemikiran selir terkasihnya itu. Dalam hati, kembali diakuinya kebenaran dari kata-kata remaja cantik itu.

Jaejoong mengedarkan pandangannya berkeliling. Hutan bambu yang mereka lewati semakin rapat, sehingga cahaya bulan pucat yang tergantung sepotong di tirai langit tak mampu menerobos ke dalamnya. Selir terkasih Yang Mulia Raja itu memicingkan matanya yang bulat besar ketika ia mulai merasakan adanya keanehan. Dahinya berkerut dengan kedua alis yang bagaikan sepasang kepak elang terlihat nyaris menyatu. Sebagai seseorang yang sudah terbiasa keluar masuk hutan, Jaejoong bisa merasakan kalau kesunyian yang membekap hutan ini terlihat sedikit tidak wajar. Keadaannya terlalu sunyi sehingga membuat angin seolah tak sudi untuk berhembus dan menggerakkan dedaunan, sekaligus bagaikan mengunci cicitan binatang-binatang malam. Selir terkasih raja itu semakin meningkatkan kewaspadaan diri ketika firasatnya mengatakan bahwa ada sesuatu yang akan terjadi. Ia juga memasang telinganya tajam-tajam, berusaha menangkap gerakan sekecil apa pun yang terlihat mencurigakan.

Singgg!

Tepat seperti yang diduga oleh remaja cantik itu. Telinganya yang cukup tajam mendengar adanya sebuah desingan yang nyaris tak tertangkap oleh pendengarannya dari arah kiri yang tertuju langsung pada titik syaraf di bagian belakang kepalanya. Secepat kilat remaja cantik itu membuang payung kertasnya dan menarik tali kekang kudanya dengan tangan kiri, lalu merendahkan tubuhnya hingga posisinya menelentang di atas punggung kuda putihnya. Dengan gerakan untung-untungan meski tetap sudah diperhitungkan sebelumnya, ia mengangkat tangan kanannya. Sebuah senyum tipis tersungging di bibir merahnya ketika mendapati sebuah jarum emas yang di bagian pangkalnya dihiasi ronce benang merah terselip di antara jari tengah dan jari telunjuknya. Dalam sekejap saja Jaejoong sudah mengetahui bahwa jarum itu mengandung racun. Jaejoong memindahkan jarum emas itu ke tangan kirinya yang masih memegang tali kekang kuda putih tunggangannya, lalu dengan cepat mengeluarkan seruling bambu peninggalan ibunya dari balik pakaiannya. Didekatkannya seruling itu ke mulutnya, sambil melakukan gerakan memutar pada salah satu sisi seruling. Ia kemudian segera menghembuskan napas kuat-kuat dan mengarahkan jarum beracun di dalam serulingnya yang langsung melesat ke tempat dimana jarum emas beronce benang merah di tangannya berasal.

"Akh…!"

Sraaak!

Terdengar sebuah pekikan tertahan dari sisi kiri atas hutan bambu yang dilewati rombongan itu. Untuk sesaat daun-daun bambu di sisi kiri tersebut tampak bergerak-gerak, lalu terlihat sebuah bayangan meluruk turun dari puncak pohon dan dengan cepat menghilang di antara lebatnya pepohonan bambu yang tumbuh. Seluruh punggawa yang mendengar suara pekikan tertahan itu tanpa diperintah segera membentuk formasi lingkaran berlapis. Masing-masing saling menghunus pedang di depan dada, dengan punggung menempel satu sama lain. Mata-mata mereka nyalang memandangi setiap sudut hutan. Sang raja yang sejak Jaejoong menarik tali kekang kudanya secara tiba-tiba sudah menyadari bahwa ada seseorang yang hendak mencelakakan selir terkasihnya itu merapatkan jarak di antara mereka. Memastikan kalau remaja cantik yang sangat dicintainya itu baik-baik saja. Sang raja sedikit tertegun memandangi sebuah jarum emas beronce benang merah yang masih berada di antara jari lentik selir terkasihnya itu.

"Pengecut! Hiyaaa…!"

Kepala Pengawal Kim yang raut wajahnya merah padam menahan kemurkaan karena serangan dadakan yang sangat cepat itu segera menarik tali kekang kudanya, hendak mengejar sosok bayangan yang sudah menghilang dari pandangan itu. Namun sebuah suara bernada lembut menghentikan gerakannya.

"Tidak usah dikejar, Kim Ahjussi!" cegah Jaejoong. Membuat Kepala Pengawal Kim segera menghentikan gerakannya dengan raut wajah penuh tanya. Kuda hitam tunggangannya meringkik keras seketika.

"Kau tidak apa-apa, Sayang?" tanya sang raja yang tak mampu menyembunyikan kekhawatiran dalam nada suaranya. Jaejoong menggeleng sambil memberikan senyuman indahnya. Meyakinkan suaminya itu bahwa ia baik-baik saja. Ia bahkan meminta sang suami yang sudah mencabut pedangnya dari warangka untuk kembali memasukkan pedang itu. Jaejoong lalu menyerahkan jarum emas yang berhasil ditangkapnya kepada sang suami yang segera mendekatkan jarum emas itu ke bawah hidungnya.

"Jarum ini beracun," desis sang raja ketika hidungnya mencium aroma yang cukup menyengat dari jarum emas di tangannya. Ia lalu dengan hati-hati menyelipkan jarum emas itu di balik ikat pinggangnya.

"Racun Kecubung Bulan. Dari serbuk sari tanaman kecubung yang hidup di pegunungan sebelah utara Mongol. Tidak untuk membunuh dan tidak akan berpengaruh apa-apa jika dipegang dengan tangan telanjang, tapi jika lemparan jarum itu tepat mengenai syaraf otak atau masuk ke dalam pembuluh darah, maka korbannya akan mengalami kelumpuhan secara perlahan," jelas Jaejoong sambil mengingat-ingat kembali mengenai buku pengobatan yang pernah dibacanya. "Dan kalau Joongie tidak salah mengingat, racun itu juga membuat korbannya mengalami penurunan berat badan yang cukup drastis, sehingga akhirnya hanya menyisakan kulit pembalut tulang," sambungnya.

"Biadab!" kecam sang raja penuh murka.

"Selir Hwan, mengapa Anda melarang saya untuk mengejar orang itu? Dia nyaris mencelakakan Anda," ujar Kepala Pengawal Kim yang sudah berada di depan sang raja dan selirnya, dengan sikap hormat. Sang kepala pengawal itu sebenarnya merasa gusar pada dirinya sendiri yang terlambat menyadari adanya serangan mendadak yang ditujukan pada selir terkasih raja itu.

"Tidak perlu, Kim Ahjussi. Itu hanya akan membuat perjalanan kita jadi terhambat. Joongie tahu kalau Ahjussi merasa bersalah, tapi hal yang baru saja terjadi sama sekali bukan kesalahan Ahjussi. Serangan tadi memang di luar perkiraan kita semua. Jangan cemas, Joongie tidak apa-apa, Ahjussi. Lagi pula, cepat atau lambat kita akan mengetahui siapa orang itu," jelas Jaejoong sambil menyunggingkan senyum penuh makna, berusaha menghilangkan kegundahan yang merayapi benak kepala pengawal berwajah manis itu.

"Apa maksud Selir Hwan yang mengatakan bahwa cepat atau lambat kita akan mengetahui siapa pelaku penyerangan ini?" tanya Panglima Shin yang turut mendekat, sedikit bergumam, seolah sedang bertanya pada dirinya sendiri.

"Sosok tadi terluka oleh jarum Joongie yang juga mengandung sejenis racun yang cukup mematikan, meski tidak akan membuat nyawanya menghilang seketika, Shin Ahjussi. Sampai hari ke-tiga, orang yang terkena racun itu akan merasakan panas luar biasa di bagian tubuhnya yang terluka. Lalu pada hari ke-empat, dia akan merasakan sakit luar biasa pada seluruh tulang-belulang dan persendiannya. Dan pada hari ke-lima, dari bekas lukanya akan timbul benjolan kecil berair yang perlahan-lahan akan semakin membesar, sehingga membuat dagingnya membusuk. Racun dari jarum sumpit Joongie ini, hanya Joongie dan Tabib Lee yang memiliki penawarnya. Jadi, jangan buang tenaga kalian sia-sia, Ahjussi. Percayalah pada Joongie, akan sangat mudah menemukan orang itu," sahut Jaejoong yang rupanya mendengar pertanyaan Panglima Shin itu dengan kalem. Yang Mulia Raja berdecak mendengar selir terkasihnya itu berbicara mengenai racun dan menggelengkan kepalanya. Kemarahannya sedikit demi sedikit mulai mereda. Sang raja lalu memerintahkan anggota rombongannya untuk menyarungkan pedang masing-masing dan kembali melanjutkan perjalanan mereka.

Raja berwajah tampan itu sedikit mengerutkan keningnya ketika dilihatnya Kepala Pengawal Kim sama sekali tidak beranjak dari tempatnya.

"Ada apa, Kepala Pengawal Kim?"

"Tidakkan cukup berbahaya jika kita melanjutkan perjalanan ini, Yang Mulia? Bagaimana jika di depan kita kembali diserang oleh orang-orang seperti tadi? Apakah tidak sebaiknya kita bermalam saja di sini?" tanya Kepala Pengawal Kim, mengemukakan pendapat sekaligus ganjalan yang ada di hatinya.

"Justru akan lebih berbahaya jika kita bertahan di tempat seperti ini, Kepala Pengawal Kim. Ruang gerak kita menjadi lebih terbatas. Kupikir sebaiknya kita tetap melanjutkan perjalanan sambil terus meningkatkan kewaspadaan."

"Yang Mulia benar, Kim Ahjussi. Lagi pula, orang itu tidak akan menyerang lagi. Percayalah!" sambung Jaejoong.

"Bagaimana Anda begitu yakin, Selir Hwan?"

"Jika sosok tadi benar-benar berniat untuk mencelakakan Joongie saat ini juga, maka ia tidak akan lari begitu saja ketika ia terkena jarum beracun Joongie. Racun yang ada di jarum beracun milik Joongie bekerja cukup lambat, jadi ia masih memiliki kesempatan untuk kembali melepas jarum beracun miliknya pada Joongie kalau ia mau, tapi yang terjadi justru ia memilih meninggalkan tempat ini. Menurut Joongie, orang itu hanya bermaksud memperingatkan Joongie saja," jelas Jaejoong.

"Siapa pun orangnya, yang jelas aku tidak akan mengampuninya jika berhasil menemukannya, Sayang!" janji sang raja di dalam hati yang cukup murka melihat ada pihak-pihak tertentu yang berniat jahat pada selir terkasihnya. Jaejoong yang terlihat sangat tenang lagi-lagi tersenyum kecil, seakan bisa mendengarkan suara hati suaminya. Ia lalu mengajak Kepala Pengawal Kim untuk kembali melanjutkan perjalanan mereka yang sempat tertunda, setelah sebelumnya meminta salah seorang punggawa untuk memungut kembali payung kertasnya.

ooo 000 ooo

Lewat tengah malam, rombongan itu akhirnya tiba di bekas bangunan Istana Gyeongbok yang berada tepat di jantung kota Hanyang tanpa mengalami gangguan yang berarti, persis seperti apa yang telah Jaejoong perkirakan sebelumnya. Langit di atas mereka terlihat cerah dengan taburan bintang yang berkedip manja, mengelilingi bulan sepotong yang terlihat merona. Gunung Bugaksan dan Gunung Namsan yang berdiri gagah menjulang tinggi seakan hendak menentang langit mengapit bekas istana itu dari depan dan belakang, dan nampak diselimuti kabut cukup tebal. Mereka mengendalikan kudanya perlahan melewati reruntuhan gerbang yang dijadikan semacam tugu peringatan, yang dulunya merupakan pintu masuk utama ke istana. Di hadapan mereka, membentang jalan besar yang pada jaman kejayaan Istana Gyeongbok dulu dikenal sebagai Jalan Enam Kementrian yang mengarah ke kantor utama pemerintah yang kini sama sekali tak bersisa, meski hanya berupa puing. Mereka terus mengendalikan kudanya ke arah kiri hingga menemui sebuah bukit yang ditumbuhi pepohonan maple berdaun warna-warni yang cukup lebat, lalu berhenti tepat di sebuah gapura yang berbentuk melengkung dari bata merah.

Yang Mulia Raja memerintahkan Kepala Pengawal Kim untuk mencari tanah yang cukup lapang untuk membangun tenda-tenda peristirahatan untuk mereka. Kepala pengawal berwajah manis itu segera melaksanakan perintah junjungannya. Digebahnya kuda hitamnya, hingga dalam waktu sebentar saja tubuhnya sudah menghilang dari pandangan. Tak lama, Kepala Pengawal Kim kembali dan segera memerintahkan para punggawa yang turut dalam rombongan untuk mengikutinya. Ia lalu memerintahkan para punggawa itu untuk membangun tenda tepat di atas lokasi bekas Istana Gyeongbok. Beberapa punggawa melepaskan buntalan besar yang terikat di punggung kuda mereka, lalu bersama rekan-rekannya yang lain bergerak cepat membangun tenda-tenda peristirahatan. Dalam waktu sebentar saja, lima buah tenda sudah berdiri di atas tanah yang merupakan bekas istana pertama yang merupakan istana terbesar sepanjang sejarah Kerajaan Joseon itu. Panglima Shin yang sebelumnya bertugas untuk menjaga Yang Mulia Raja dan Jaejoong segera bergabung dengan Kepala Pengawal Kim dan para punggawa yang lain setelah diperintah oleh sang raja berwajah kecil itu. Panglima muda yang memiliki paras tampan itu mengumpulkan kayu-kayu kering dan ranting-ranting pohon yang banyak terdapat di sekitar bukit itu, lalu menyalakan api unggun untuk mengurangi hawa dingin yang semakin menyergap membekukan tulang. Embun mulai jatuh dan kabut terlihat semakin menebal di sekitar tempat itu, menyebarkan udara dingin yang nyaris tak mampu diusir oleh api unggun yang menyala. Pengawal Shin terlihat mendekap tubuhnya yang kini sudah diselimuti mantel tebal, sambil duduk di atas sebatang pohon tumbang tepat di depan api yang sedang menyala. Sedangkan Kepala Pengawal Kim mulai memerintahkan para punggawa untuk beristirahat setelah membagi-bagikan tugas jaga. Setelah itu kepala pengawal berwajah manis itu ikut menghempaskan tubuhnya yang letih di samping Pengawal Shin.

"Cuaca sangat dingin, sebaiknya Hyung beristirahat di dalam tenda. Hyung terlihat sangat lelah," saran Panglima Shin sambil menggosok-gosok kedua tangannya ketika melihat Kepala Pengawal Kim mulai memejamkan mata di sebelahnya. Sepasang mata sipit yang sudah sempat mengatup itu kembali terbuka mendengar ucapan Panglima Shin.

"Lalu bagaimana denganmu?" ada perasaan hangat yang perlahan-lahan menyeruak di dada panglima muda berwajah tampan itu mendengar pertanyaan bernada khawatir dari sang kepala pengawal yang diam-diam dicintainya itu. Ia menundukkan wajahnya, berusaha menyembunyikan sebaris senyum yang mekar di sudut bibirnya.

"Aku juga akan segera tidur jika sudah tiba giliran jaga selanjutnya, Hyung."

"Hmmm, baiklah. Bangunkan aku jika sudah tiba giliranku untuk berjaga, Won Gi-ya!" pesan Kepala Pengawal Kim yang merasa tubuhnya hampir rontok dan nyaris tak mampu lagi mempertahankan sepasang matanya untuk tetap terbuka. Ia lalu segera memasuki tenda paling besar yang dipersiapkan untuknya juga Panglima Shin. Panglima berwajah tampan itu hanya mengangguk kecil menanggapi perkataan sang kepala pengawal berwajah manis itu sambil menambahkan beberapa ranting ke dalam api unggun.

Sementara itu, Yang Mulia Raja didampingi oleh Jaejoong segera menggeser sebuah batu di samping gapura. Seketika keanehan terjadi. Diawali suara bagai gemuruh perlahan-lahan dinding bukit itu bergeser sedikit demi sedikit, membentuk pintu masuk yang cukup untuk dua orang.

Dengan tenang sang raja berwajah tampan yang memiliki sepasang mata tajam bagai elang itu memasuki gua yang terdapat di sebalik pintu masuk yang tercipta di punggung bukit ini sambil menggenggam erat jemari selir terkasihnya. Jaejoong yang terpana penuh kekaguman, mensejajarkan langkah mengikuti suaminya sambil merasakan hangatnya tangan sang raja yang menggenggam jemarinya. Ketika sang raja menggeser sebuah batu sebesar kepala kerbau yang ada di dalam gua, pintu masuk itu menutup kembali. Mereka melanjutkan perjalanan menyusuri jalan setapak dalam gua di perut bukit yang diterangi oleh sejenis cendawan yang mampu mengeluarkan cahaya berwarna hijau yang banyak terdapat di setiap sudut gua. Jaejoong mengedarkan pandangannya, memerhatikan setiap jengkal yang ia lewati. Remaja cantik itu kembali dibuat terkagum-kagum dengan aneka lukisan timbul yang dipahat langsung pada langit-langit gua maupun dinding yang mereka lewati. Setelah hampir sepeminuman teh berjalan menelusuri jalan setapak bak lorong panjang tak berujung, mereka menuruni beberapa undakan anak tangga batu hingga menemui sebuah hamparan halaman batu maha luas membentuk sebuah komplek bangunan dengan langit-langit yang dibentuk melengkung dan dipenuhi dengan beraneka lukisan yang dipahat. Ratusan pilar besar dari granit terlihat menyangga langit-langit ruangan itu. Sang raja menjelaskan pada selir terkasihnya bahwa saat ini mereka sedang berada di ruangan rahasia bawah tanah yang tepat berada di bawah reruntuhan Istana Gyeongbok. Sebuah ruangan rahasia yang dibangun sebagaimana layaknya kondisi istana utama itu sebelum musnah dilahap api.

Sambil terus menggenggam erat jemari Jaejoong, sang raja mengajak selir terkasihnya itu untuk memasuki pintu gerbang utama istana bawah tanah. Sang raja juga menjelaskan bahwa bangunan yang berdiri di sepanjang poros tengah dari gerbang utama yang mereka lewati adalah istana inti yang terdiri dari ruang tahta kerajaan dan dewan aula yang merupakan tempat raja menyelenggarakan pemerintahan, mengadakan pertemuan dengan para menteri dan pejabat, menerima tamu luar negeri, juga tempat dilaksanakannya upacara penobatan. Sementara dua bangunan utama yang mengapit gerbang utama di sisi kiri dan kanan adalah Kuil Jongmyo dan Altar Sajik.

Sang raja menghentikan ayunan langkahnya sejenak ketika dirasakannya bahwa sang selir telah lebih dahulu berhenti melangkah. Diikutinya arah pandang sang selir terkasih yang menatap takjub pada sebuah bangunan berbentuk paviliun di sisi kanan mereka.

"Bangunan itu dikenal dengan nama Paviliun Gyeonghoeru yang bertiangkan empat puluh delapan tonggak granit dengan kolam bunga teratai yang mengelilinginya, hingga membuat paviliun itu terlihat seperti terapung. Ruangan bawah tanah ini didesain memang persis sama seperti bangunan Istana Gyeongbok yang asli. Terlihat sangat indah, bukan?" jelas sang raja. Jaejoong mengangguk-anggukkan kepalanya sambil terus mengagumi paviliun itu. Ingatan tentang pertemuan pertamanya dengan Yang Mulia Raja di paviliun hutan kerajaan mendadak melintas. Paviliun kecil di tengah hutan itu juga dikelilingi oleh kolam bunga teratai, hingga sekilas pandang terlihat seperti mengapung.

"Yang Mulia…." suara Jaejoong terputus, setelah cukup lama terdiam dengan benak mengulang potongan kenang.

"Ne? Ada apa, Sayang?" tanya sang raja dengan nada suara begitu lembut.

"Selain dalam keadaan mendesak, apakah di hari-hari biasanya ada yang tinggal di istana bawah tanah ini?" tanya Jaejoong yang rupanya sejak tadi begitu penasaran ingin menanyakan mengenai hal itu.

"Tidak ada. Hanya saja setiap tiga hari sekali sekitar seratus orang dayang bergiliran mendapatkan tugas untuk membersihkan setiap sudut ruangan di tempat ini," jelas sang raja. Jaejoong memiringkan wajahnya dengan raut wajah bingung.

"Kenapa?"

"Bukankah Yang Mulia pernah mengatakan bahwa hanya sedikit orang yang mengetahui keberadaan istana bawah tanah ini? Jika setiap tiga hari sekali diadakan pertukaran seratus dayang untuk membersihkan tempat ini, tidakkah itu artinya ada banyak sekali orang yang mengetahui keberadaan ruangan rahasia ini?"

"Memang benar. Karena itulah para dayang yang dibawa kemari biasanya ditutup matanya dengan kain hitam sepanjang perjalanan datang dan pergi, hingga ketika mereka berada di sini mereka tidak akan tahu sedang berada dimana. Dengan begitu kerahasiaan tempat ini akan tetap terjaga," sang raja menjelaskan dengan sabar. Jaejoong mengangguk paham.

Mereka terus berjalan beriringan melintasi beberapa bangunan lainnya. Sang raja selalu menjelaskan secara singkat mengenai bangunan maupun ruangan yang mereka lewati. Seperti misalnya paviliun tunggal di bagian belakang bangunan utama tepat di sisi timur yang berfungsi sebagai tempat tinggal pangeran. Atau pun mengenai bangunan panjang dengan banyak ruangan di belakang istana inti. Istana Gyeongbok sejatinya merupakan istana utama paling luas yang secara keseluruhan terdiri dari tiga ratus tiga puluh buah bangunan dengan hampir enam ribu kamar. Remaja cantik itu terlihat manggut-manggut mendengar penjelasan singkat dari sang suami. Mereka kembali melanjutkan perjalanan sambil bercakap-cakap ringan hingga akhirnya berhenti di sebuah bangunan cukup besar di bagian selatan. Yang Mulia Raja perlahan menggeser pintu geser di depannya, dan melangkah masuk ke dalam ruangan yang dijaga oleh dua orang berseragam prajurit bersenjata pedang yang merupakan kamar khusus tempat tinggal raja itu.

"Yang Mulia…!"

"Ayahanda…!"

"Joongie…!"

Sang Raja Sukjong dan Jaejoong tersentak kaget mendengar seruan-seruan penuh kerinduan yang menyambut mereka begitu tiba di dalam ruangan tersebut. Dari tempat mereka berdiri, jelas terlihat anggota keluarga kerajaan yang terdiri dari Yang Mulia Permaisuri, Putera Mahkota Changmin, Selir Suk, Selir Hee, Selir Myeong, Selir Yeong, dan Selir Yu sedang duduk bersila di lantai membentuk setengah lingkaran. Yang Mulia Permaisuri yang pada saat itu mengenakan dangui dan seuran chima berwarna kuning gading berpola emas segera bangkit dari duduknya diikuti oleh Putera Mahkota Changmin yang terlihat gagah dalam balutan gonryongpo berwarna ungu dengan lambang naga empat jari di bagian depan, belakang, dan kedua pundak jubahnya. Mereka berdua lalu berhambur memeluk Yang Mulia Raja yang berhasil kembali dari pertempuran dengan selamat. Air mata bahagia tampak mengalir di sudut mata kedua orang itu. Sedangkan Selir Suk dan ke-empat selir lainnya yang sepertinya sepakat mengenakan dangui dan seuran chima berwarna hijau pucuk daun segera memeluk Jaejoong yang sebenarnya sedikit jengah melihat kemesraan antara Yang Mulia Raja dengan Yang Mulia Permaisuri, namun cepat-cepat menyembunyikan kekesalannya di balik senyum manis yang ia berikan. Bagaimana ia tidak kesal karena saat ini Yang Mulia Raja seakan-akan tidak menanggapi kehadirannya, padahal beberapa saat yang lalu mereka terlihat begitu mesra.

"Mengapa kau masih menangis, hemmm? Tidakkah kau senang melihatku kembali dari medan pertempuran dengan selamat?" tanya sang raja dengan lembut kepada istrinya yang masih memeluknya dengan erat. Yang Mulia Permaisuri menggelengkan kepalanya yang berada dalam pelukan hangat suaminya. Ia kemudian menengadahkan wajahnya, sehingga paras cantiknya yang bersimbah airmata terlihat jelas.

"Justru sebaliknya. Saya menangis karena teramat bahagia Anda bisa kembali dengan selamat, Yang Mulia," jawab Yang Mulia Permaisuri dengan suara sedikit bergetar menahan tangisnya. Yang Mulia Raja memberikan senyum terbaiknya, lalu mengangkat tangan kanannya. Menyeka jejak airmata yang menuruni pipi halus wanita cantik yang telah lima belas tahun lebih mendampinginya itu.

"Karena aku sudah kembali dengan selamat, seharusnya kau menghadiahkanku senyuman manismu. Bukan airmata ini. Apa kau tahu, matamu yang memerah karena menangis membuat kecantikanmu jadi sedikit tersamar," goda sang raja yang membuat warna merah kini menjalar di kedua belah pipi Yang Mulia Permaisuri yang mengenakan tusuk konde naga dengan mutiara merah di mulut naga untuk menghias tatanan rambutnya yang digelung menyerupai sanggul. Putera Mahkota Changmin yang mendengar godaan sang ayah kepada ibunya terkekeh ringan sambil menyeka airmata di sudut matanya dengan ujung lengan bajunya. Tak ada yang menyadari perubahan raut wajah Jaejoong yang mendadak menggigit bibir bagian bawahnya sambil menyembunyikan wajahnya di dalam pelukan Selir Suk.

"Dan kau, Putera Mahkota. Jangan katakan padaku kalau alasanmu masih berjaga sampai saat ini sebenarnya bukan karena kau merindukan ayahmu ini, tapi karena kau tak kuat menahan lapar yang mendera perutmu, hemmm?" tanya sang raja yang membuat wajah kekanakan sang putera tunggalnya itu memerah seketika. Putera Mahkota Changmin terlihat sedikit salah tingkah sebelum akhirnya memberikan sebuah senyuman kelewat lebar kepada sang ayah.

"Tidak begitu. Saya masih berjaga karena memang saya sangat merindukan Ayahanda. Tapi mengenai perut saya yang lapar, itu juga benar," sahut Putera Mahkota Changmin sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Sang raja tertawa pelan mendengar jawaban sang anak. Ia sudah sangat hapal mengenai kebiasaan makan tengah malam anak satu-satunya itu yang selalu berdalih bahwa hal itu baik untuk pertumbuhannya.

Cukup lama juga ketiga orang itu bertahan dengan posisi masing-masing, hingga akhirnya Yang Mulia Raja melepaskan pelukan dari Yang Mulia Permaisuri dan Putera Mahkota. Ia lalu mendekati selir-selirnya, dan bergantian memeluk dan menciumi kening mereka satu per satu.

"Kenapa kalian semua tidak tidur dan malah berkumpul di sini? Malam sudah sangat larut," ujar sang raja setelah mereka semua kembali duduk, sambil merayapi wajah-wajah lelah di hadapannya.

"Ada seorang utusan yang mengabarkan mengenai kemenangan pasukan kita dan mengatakan bahwa Anda akan kemari malam ini juga. Karena itulah kami semua menunggu Yang Mulia di sini. Hanya Yang Mulia Ibu Suri yang sudah beristirahat terlebih dahulu, setelah saya sedikit memaksanya, mengingat faktor usia beliau yang tidak memungkinkan untuk berjaga sepanjang malam, Yang Mulia," jelas Yang Mulia Permaisuri. Perempuan cantik itu sudah kembali bersikap anggun seperti biasanya. Tidak ada lagi getaran dalam nada suaranya. Ia sempat melirik sebentar ke arah Jaejoong yang terlihat menundukkan kepala di sebelah Selir Suk dengan pandangan yang sukar diartikan.

"Sebaiknya kalian juga cepat beristirahat. Besok pagi-pagi sekali kita akan kembali ke Istana Changdeok. Aku juga ingin langsung merebahkan diri," titah sang raja.

"Anda ingin ditemani, Yang Mulia?" tanya Yang Mulia Permaisuri menawarkan diri. Namun sang raja dengan cepat menggelengkan kepalanya, sambil tersenyum tipis.

"Terima kasih, tapi tidak perlu, Permaisuri. Aku benar-benar sangat lelah. Kembalilah ke kamar kalian masing-masing. Dan Selir Suk, kau bisa menunjukkan letak kamar Joongie, bukan?" tanya sang raja pada salah satu selirnya yang dibalas dengan anggukan cepat oleh Selir Suk.

"Tentu, Yang Mulia."

"Kalau begitu ayo kita ke kamar, Eomma. Joongie sudah sangat lelah dan mengantuk. Punggung Joongie juga rasanya mau patah karena terus-menerus duduk di atas kuda. Ayooo…," desak Jaejoong yang akhirnya mengeluarkan suara sambil menggoyang-goyangkan lengan Selir Suk. Sikapnya dengan jelas menunjukkan bahwa ia tidak ingin lebih lama lagi berada di dalam ruangan itu. Setelah membungkukkan tubuhnya, Selir Suk segera membimbing Jaejoong yang sejak tadi terus menundukkan wajahnya keluar dari ruangan itu. Sang Raja Sukjong sedikit mengerutkan keningnya melihat tingkah Jaejoong yang lebih pendiam dari biasanya. Tak ada celotehan atau pun rengekan manja yang terlontar dari bibir indah sang selir yang selalu terlihat menggoda itu. Remaja cantik itu bahkan sama sekali tidak menatap wajah sang suami ketika ia melintas melewatinya. Dalam hati, sang raja berseru kegirangan ketika menyadari bahwa remaja cantik itu sedang dibakar api cemburu.

Dan ternyata, bukan hanya sang raja yang sedikit heran dengan perubahan sikap Jaejoong, Putera Mahkota Changmin yang bisa dikatakan merupakan temannya dalam menimba ilmu dari para Guru Suci juga tak luput didera perasaan yang sama. Sejak menjejakkan kakinya ke dalam ruangan itu, remaja cantik itu sama sekali tak melirik ke arahnya, apalagi untuk sekedar bertukar sapa. Putera Mahkota berwajah kekanakan itu akhirnya hanya mendesah panjang, dan berjanji dalam hati untuk menanyakannya langsung pada selir terkasih ayahnya itu mengenai perubahan sikapnya itu. Terus terang saja, Jaejoong yang terlihat pendiam membuatnya tidak nyaman. Ia lebih suka jika remaja cantik yang sudah dianggapnya sebagai teman terdekatnya itu ceria seperti biasanya.

Dalam waktu sebentar saja, bayangan tubuh Selir Suk dan Jaejoong sudah menghilang dari pandangan. Setelah Selir Suk dan Jaejoong meninggalkan ruangan kediaman raja itu, satu per satu selir raja yang lain juga turut meninggalkan ruangan, disusul oleh Putera Mahkota Changmin dan Yang Mulia Permaisuri yang keluar paling akhir. Meninggalkan sang raja yang mulai merebahkan diri di atas kasur lipatnya dengan sebuah senyuman lebar tersungging di bibir hati miliknya. Entah apa yang dipikirkan oleh raja tampan itu, namun yang jelas ia terlihat sangat bahagia.




             ~TBC~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar